"Saat cinta itu ternyata bertepuk sebelah tangan, aku justru semakin mencintainya. Setiap waktu cinta itu terus kupupuk, kubiarkan berkembang hingga begitu menyesakkan dada dan nyeri di setiap nadi, lalu kemudian ... Aku muak dan berhenti."
Urusan jatuh cinta semasa remaja memang pelik. Apalagi jika masih labil. Salah satu rapor buruk saya dalam percintaan adalah, sulit move on. Masih mending move on diputusin pacar, lah ini move on dari ditolak cowo alias bertepuk sebelah tangan. Udahan ditolak, masiiiih aja stalking. Bertahun-tahun pula.
Urusan ga move on ini bermula saat saya SMA dan menggebet salah satu adik kelas saya. Saya menghabiskan waktu mengikuti kemanapun dia bergerak. Dari masuk sekolah, jam istirahat, jam nongrong, ekskul ... Pokoknya dibuntuti terus. Telepon tiap malam, walau anaknya ga pernah di rumah dan malah jadi ngobrol sama ibunya. Membelikan hadiah ulangtahun. Mencari tahu letak rumahnya sendiri. Macam-macamlah. Bahkan hingga saya kuliah, saya masih sering ke sekolah. Bahkan hingga si gebetan itu pindah kota, saya bela-belain menyisihkan 80% upah menerjemahkan saya untuk bayar wartel atau beli kartu telepon pintar. Awalnya saya pikir karena saya belum pernah ada kesempatan untuk PDKT, tapi ketika dia bilang punya girlfriend, saya baru sadar telah bertepuk sebelah tangan.
Apakah saya berhenti? Tidak saudara-saudara, saya bahkan semakin nekat. Mengemban misi ingin membuat si gebetan jatuh cinta dalam perjalanan satu hari. Aish, film drama banget lah. Padahal saya ini anak rumahan, tak pernah keluar kota sendirian. Ke Bekasi saja ga pernah sendiri. Ini mau ke Jawa Tengah.
Oleh karena masih perlu ongkos dari orangtua, saya katakan hendak ke rumah salah satu teman kuliah saya di Semarang. Berangkatlah saya dan kawan bersama ke Semarang dan menginap satu malam. Selanjutnya? Saya naik kereta ke kota si dia berada, sendirian. Itu pun bilang ke orangtua akan menginap di rumah saudara, jadi yah ga sendiri-sendiri amat.
Setibanya di sana langsung menjalankan aksi. Akhirnya bisa jalan bareng tapi ada yang aneh. Dia sudah seirama dengan kota itu. Kota yang sudah sepi pada jam 6 malam. Kota yang dinamikanya jauh lebih lambat dari Jakarta. Langkah tergesa saya bagaikan pitch yang aneh. Sungguh keadaan yang canggung. Walau akhirnya saya mengajaknya ikut pulang ke Jakarta bareng naik kereta (orangtuanya masih di Jakarta), rasa aneh itu kian menggelitik.
Pada kereta itu, di perjalanan 8 jam itu, tanpa alasan apa pun perasaan itu hilang sedikit demi sedikit tergilas roda kereta dan hilang sama sekali begitu saya turun dari taksi di depan rumah saya. Akhirnya saya melepaskan. Dia bukan untuk saya, jalan kami berbeda.
Menariknya aksi hampir serupa saya lakukan pada 2014 lalu. Hanya saja alasannya agak konyol, saya ingin move on dari perasaan nge-fans dengan TOP BIGBANG dan karenanya saya nekat menggesek kartu kredit untuk membeli tiket konser YG Family di ... Singapura. Perjalanan sehari semalam. Meninggalkan dua bocah sama bapaknya demi si istri tidak bayangin cowok ganteng itu terus. Bahaya bos ^.^ Yang kemudian mengejutkan adalah, saya akhirnya berangkat dalam keadaan hamil 7 minggu.
Ke Singapura, sendiri, dan hanya bawa uang Rp500000,- (uang darurat sih Rp1000000,-). Saya hanya meyakinkan diri bahwa kalaupun saya mudah tersesat, pasti akan mudah pula mencari jalan kembali karena kota itu begitu teratur. Dan memang, salah turun di MRT dan nyasar sewaktu mencari hostel kawan saya adalah pengalaman bahwa kalau di Singapura jangan harap bisa ketemu jalan yang benar dari modal bertanya pada orang lain. Lihat peta, bu, petaaa .. Dan walau kaki sakit karena salah beli sepatu tapi teteup harus jalan kaki karena ga ada ojek untuk nyari si hostel. Perjalanan yang panjang dan melelahkan dan jadwal makan malam yang meleset jauh. Belum berhenti di situ, ketika akhirnya hendak kembali ke bandara, jadwal MRTnya habis, padahal tinggal dua stasiun lagi. Eeaaa ... Syukurlah saya bersama kawan.
Dan formula lama itu masih berhasil. Walaupun perih tapi berjalanlah sesuai petunjuk yang diberikan-Nya. Pasti sampai di tujuan yang sejati. Dan tujuan sejati itu adalah kembali ke rumah. (sambil elus perut waktu itu)
Yah, Setidaknya ga nangis bombay lagi ketika BIGBANG ke Jakarta atau ketika kawan saya itu dapat tiket gratis menyaksikan BIGBANG di MAMA Award di Hongkong. Saya sudah melepaskan .... Tak mungkinlah saya bisa nge dubsmash bareng TOP BIGBANG seperti si gadis shampo saat bersama Seungri BIGBANG. ^.^ Jalur kehidupan kami sudah kadung berbeda.
Semoga saya tak perlu melakukan perjalanan sendirian lagi. Ya, saat itu yang saya rasakan adalah tak enak jalan-jalan sendirian, terpaksa selfie terus hehehe bosen. Kemanapun saya melangkah, saya lebih tertarik ke tempat yang banyak anak-anaknya. Ah, saya memang sudah emak-emak.
Walau ada kalanya saya ingin pergi mencari sunyi, sungguh tak perlu waktu lama. Beri saya 24 jam, saya pasti sudah tak tahu harus berbuat apa.
Melakukan perjalanan sejatinya seperti mencari jawaban yang sebenarnya sudah ada namun tertutupi oleh penyangkalan. Dalam Islam pun dianjurkan untuk melakukan perjalanan bahkan kalau perlu hijrah, karena petunjuk Yang Mahakuasa tidak hanya berada di satu tempat, melainkan berserakan di mana-mana. Tak sedikit buku yang menuliskan catatan perjalanan yang menginspirasi, yang paling populer sekarang ini tentu Eat, Pray, and Love. Itu pula yang dilakukan Olie Salsabila dalam bukunya Passport to Happiness. Sebuah rangkuman empat tahun kehidupan dan mengunjungi 11 kota di seluruh dunia. Bukan sekadar travelling melainkan mencari jawaban dari persoalan hidup.
Kebahagiaan letaknya di hati, dan biarkan perjalanan membantumu membuka mata hati itu dengan rintangan dengan kegalauan, kita selalu dipaksa mencari jalan keluar karena seringkali sesuatu terjadi di luar kehendak kita.
Kini saya hanya ingin merajut kenangan bersama anak-anak di mana pun dan ke mana pun kami kan berada. Membuat cerita kami sendiri dan menitipkannya pada awan-awan yang berarak hingga suatu hari ketika anak-anak terbang mencari kisah baru, cerita-cerita itu akan selalu mengingatkan mereka akan kami, keluarga mereka, rumah mereka.
Tulisan ini diikutkan dalam GA Passport to Happiness oleh @GagasMedia
Sumber Foto Cover Buku: www.salsabeela.com
Urusan jatuh cinta semasa remaja memang pelik. Apalagi jika masih labil. Salah satu rapor buruk saya dalam percintaan adalah, sulit move on. Masih mending move on diputusin pacar, lah ini move on dari ditolak cowo alias bertepuk sebelah tangan. Udahan ditolak, masiiiih aja stalking. Bertahun-tahun pula.
Urusan ga move on ini bermula saat saya SMA dan menggebet salah satu adik kelas saya. Saya menghabiskan waktu mengikuti kemanapun dia bergerak. Dari masuk sekolah, jam istirahat, jam nongrong, ekskul ... Pokoknya dibuntuti terus. Telepon tiap malam, walau anaknya ga pernah di rumah dan malah jadi ngobrol sama ibunya. Membelikan hadiah ulangtahun. Mencari tahu letak rumahnya sendiri. Macam-macamlah. Bahkan hingga saya kuliah, saya masih sering ke sekolah. Bahkan hingga si gebetan itu pindah kota, saya bela-belain menyisihkan 80% upah menerjemahkan saya untuk bayar wartel atau beli kartu telepon pintar. Awalnya saya pikir karena saya belum pernah ada kesempatan untuk PDKT, tapi ketika dia bilang punya girlfriend, saya baru sadar telah bertepuk sebelah tangan.
Apakah saya berhenti? Tidak saudara-saudara, saya bahkan semakin nekat. Mengemban misi ingin membuat si gebetan jatuh cinta dalam perjalanan satu hari. Aish, film drama banget lah. Padahal saya ini anak rumahan, tak pernah keluar kota sendirian. Ke Bekasi saja ga pernah sendiri. Ini mau ke Jawa Tengah.
Oleh karena masih perlu ongkos dari orangtua, saya katakan hendak ke rumah salah satu teman kuliah saya di Semarang. Berangkatlah saya dan kawan bersama ke Semarang dan menginap satu malam. Selanjutnya? Saya naik kereta ke kota si dia berada, sendirian. Itu pun bilang ke orangtua akan menginap di rumah saudara, jadi yah ga sendiri-sendiri amat.
Setibanya di sana langsung menjalankan aksi. Akhirnya bisa jalan bareng tapi ada yang aneh. Dia sudah seirama dengan kota itu. Kota yang sudah sepi pada jam 6 malam. Kota yang dinamikanya jauh lebih lambat dari Jakarta. Langkah tergesa saya bagaikan pitch yang aneh. Sungguh keadaan yang canggung. Walau akhirnya saya mengajaknya ikut pulang ke Jakarta bareng naik kereta (orangtuanya masih di Jakarta), rasa aneh itu kian menggelitik.
Pada kereta itu, di perjalanan 8 jam itu, tanpa alasan apa pun perasaan itu hilang sedikit demi sedikit tergilas roda kereta dan hilang sama sekali begitu saya turun dari taksi di depan rumah saya. Akhirnya saya melepaskan. Dia bukan untuk saya, jalan kami berbeda.
Menariknya aksi hampir serupa saya lakukan pada 2014 lalu. Hanya saja alasannya agak konyol, saya ingin move on dari perasaan nge-fans dengan TOP BIGBANG dan karenanya saya nekat menggesek kartu kredit untuk membeli tiket konser YG Family di ... Singapura. Perjalanan sehari semalam. Meninggalkan dua bocah sama bapaknya demi si istri tidak bayangin cowok ganteng itu terus. Bahaya bos ^.^ Yang kemudian mengejutkan adalah, saya akhirnya berangkat dalam keadaan hamil 7 minggu.
Ke Singapura, sendiri, dan hanya bawa uang Rp500000,- (uang darurat sih Rp1000000,-). Saya hanya meyakinkan diri bahwa kalaupun saya mudah tersesat, pasti akan mudah pula mencari jalan kembali karena kota itu begitu teratur. Dan memang, salah turun di MRT dan nyasar sewaktu mencari hostel kawan saya adalah pengalaman bahwa kalau di Singapura jangan harap bisa ketemu jalan yang benar dari modal bertanya pada orang lain. Lihat peta, bu, petaaa .. Dan walau kaki sakit karena salah beli sepatu tapi teteup harus jalan kaki karena ga ada ojek untuk nyari si hostel. Perjalanan yang panjang dan melelahkan dan jadwal makan malam yang meleset jauh. Belum berhenti di situ, ketika akhirnya hendak kembali ke bandara, jadwal MRTnya habis, padahal tinggal dua stasiun lagi. Eeaaa ... Syukurlah saya bersama kawan.
Dan formula lama itu masih berhasil. Walaupun perih tapi berjalanlah sesuai petunjuk yang diberikan-Nya. Pasti sampai di tujuan yang sejati. Dan tujuan sejati itu adalah kembali ke rumah. (sambil elus perut waktu itu)
Yah, Setidaknya ga nangis bombay lagi ketika BIGBANG ke Jakarta atau ketika kawan saya itu dapat tiket gratis menyaksikan BIGBANG di MAMA Award di Hongkong. Saya sudah melepaskan .... Tak mungkinlah saya bisa nge dubsmash bareng TOP BIGBANG seperti si gadis shampo saat bersama Seungri BIGBANG. ^.^ Jalur kehidupan kami sudah kadung berbeda.
Semoga saya tak perlu melakukan perjalanan sendirian lagi. Ya, saat itu yang saya rasakan adalah tak enak jalan-jalan sendirian, terpaksa selfie terus hehehe bosen. Kemanapun saya melangkah, saya lebih tertarik ke tempat yang banyak anak-anaknya. Ah, saya memang sudah emak-emak.
Walau ada kalanya saya ingin pergi mencari sunyi, sungguh tak perlu waktu lama. Beri saya 24 jam, saya pasti sudah tak tahu harus berbuat apa.
Melakukan perjalanan sejatinya seperti mencari jawaban yang sebenarnya sudah ada namun tertutupi oleh penyangkalan. Dalam Islam pun dianjurkan untuk melakukan perjalanan bahkan kalau perlu hijrah, karena petunjuk Yang Mahakuasa tidak hanya berada di satu tempat, melainkan berserakan di mana-mana. Tak sedikit buku yang menuliskan catatan perjalanan yang menginspirasi, yang paling populer sekarang ini tentu Eat, Pray, and Love. Itu pula yang dilakukan Olie Salsabila dalam bukunya Passport to Happiness. Sebuah rangkuman empat tahun kehidupan dan mengunjungi 11 kota di seluruh dunia. Bukan sekadar travelling melainkan mencari jawaban dari persoalan hidup.
Kebahagiaan letaknya di hati, dan biarkan perjalanan membantumu membuka mata hati itu dengan rintangan dengan kegalauan, kita selalu dipaksa mencari jalan keluar karena seringkali sesuatu terjadi di luar kehendak kita.
Kini saya hanya ingin merajut kenangan bersama anak-anak di mana pun dan ke mana pun kami kan berada. Membuat cerita kami sendiri dan menitipkannya pada awan-awan yang berarak hingga suatu hari ketika anak-anak terbang mencari kisah baru, cerita-cerita itu akan selalu mengingatkan mereka akan kami, keluarga mereka, rumah mereka.
Tulisan ini diikutkan dalam GA Passport to Happiness oleh @GagasMedia
Sumber Foto Cover Buku: www.salsabeela.com
Kereen euy bisa nekat menjelajah kayak gitu hehehe! Pasti bisa jadi bahan cerita buat anak cucu nanti :D
BalasHapusMalu ah nyeritainnya hehehe
HapusBuku travelling yang tak sekedar jalan2 yaa..boleh juga jadi wish list :)
BalasHapusBoleh banget ^.^
HapusSemoga menang Mbak ^^
BalasHapusaaamiiin ^.^
HapusSemoga menang ya reviewnya
BalasHapusamiiin .. terima kasiih ^^
HapusWow... Lagi hamil mba padahal. Amazing
BalasHapusHahaha, Ini krn kadung beli tiket jg siy hehe
Hapushahaha keren nih, sampai sekarang masih susah move on gitu?
BalasHapus