Senin, 24 November 2014

My Story: Sendirian, Semalam di Singapura #1


Seperti yang sudah diceritakan di postingan sebelumnya, saya sudah ada rencana menonton konser di Singapura pada 13 September lalu, lebih tepatnya YG Family in Concert. Yoi, perusahaan agensinya Bigbang, 2Ne1, Winner, Akmo, dll. Saya sih tentu saja ingin melihat TOP Bigbang (hohohoh....).

Ini sebenarnya rencana saya dalam rangka menuntaskan fantasi saya terhadap si Choi Seung Hyun alias TOP Bigbang. Sejak tahun lalu sudah berencana ingin menonton konsernya di luar Indonesia. KL adalah rencana awalnya, karena saya ingin bawa anak-anak ke Legoland Johor Baru. Sudah berhitung tetapi gagal menabung. Hingga kemudian terbitlah berita bahwa YG entertainment akan melakukan konser gabungan di Singapura. Ini seperti menepuk 2-3 nyamuk dalam satu tepukan!

Hari itu bulan puasa, iseng saya menghubungi salah satu rekan kerja junior saya di eks kantor. Saya tahu dia termasuk yang korean freak di mata saya. Gayung bersambut. Dan ketika saya kesulitan membeli tiket secara online, dialah yang membantu saya. Bukan tiket dengan harga paling mahal, dua tahun yang lalu saya sudah pernah melihat TOP dari pinggir panggung, jadi mundur sedikit ga apa-apalah, kudu realistis dengan bujet soalnya.

Lucunya, awalnya saya berniat tidak mau memberitahu suami terkait mau nonton konser di Singapura ini. Toh, saya hanya izin semalam, ga pake nginep di hotel. Bukannya ga mau bawa anak-anak, ga mampu bayarnya cuy.

Aih tapi rupanya, kartu kredit saya tidak bisa digunakan karena kodenya dikirim ke nomor handphone saya yang lama. Dan dalam keadaan terburu-buru juga kebelet, saya pun meminjam kartu kredit suami. Ketahuan deeeeeh ....

Walau kabar kehamilan ini agak bikin garuk-garuk kepala terutama karena hanya detik-detik menjelang keberangkatan, saya rasa keputusan ini pun dirasa paling tepat, karena saya tidak akan bisa menengok konser apa pun for the next 2 years! So i guess, saya harus benar-benar menikmatinya.


PERSIAPAN

Oke karena saya hanya sendiri berangkatnya, saya berencana hanya pergi dengan satu tas ransel. Hei, kapan lagi bawa ransel yang isinya bukan baju anak-anak? Saya tidak pergi bareng dengan teman saya yang disebutkan sebelumnya, dia pergi lebih dulu. Saya karena status ibu-ibu beranak dua harus menggunakan jadwal paling lambat pergi, paling awal kembali. Hehehe.

Dan jika terlihat dari paragraf sebelumnya, bisa dipastikan keuangan saya sebenarnya lagi ga bagus. Alias pas-pasan. Toh, saya tutup mata ketika memasukkan uang SGD60 ke dompet. Ya, saya hanya bawa segitu ke negara yang termasuk sebagai negara paling mihil di dunia. SGD10 saya minta dalam bentuk recehan alias SGD2, untuk biaya transportasi. Tapi tenang, suami secara sepihak membekali saya uang sejuta pas. Untuk jaga-jaga. “Daripada kamu nanti tiba-tiba telepon nangis-nangis karena ga punya uang.”

Rasanya ingin saya getok dia, tapi yah ada benarnya juga hehehe....

BERANGKAAAT

Pesawat saya berangkat pukul 9 kurang, tapi saya putuskan keluar dari rumah usai subuh. Menghindari anak-anak bangun yang kemungkinan akan menimbulkan drama. Suami sudah memanggil keponakannya sebagai bala bantuan. Kaos bergambar dua kartu King Queen dengan wajah saya dan TOP pun sudah diprint dan dipakai. (thanks to my big bro yang bersedia melakukan digitalisasinya walau sang istri lagi sakit).


Hari masih gelap begitu keluar Kalibata City. Saya menghentikan mikrolet yang berjalan cepat menuju lampu merah dan di sanalah saya menunggu damri. Saya baru tahu bahwa di jam segitu pun ada orang yang menawarkan tumpangan, yah ga tahu deh ini tawaran baik atau tidak. Toh saya hanya butuh damri. Sekitar 10 menit kemudian, damri itu pun datang dan membawa saya tiba di Soetta terminal 3 dalam waktu 45 menit.

Bandara. Rasanya saya tidak bisa dan tidak boleh berputar haluan. Saya bukan orang yang sering  menggunakan pesawat. Jika dihitung-hitung, saya baru menggunakan pesawat selama 4 kali dalam hidup saya. Jadi saya kurang pede dengan sistematisasi bandara. Maklum, bisa dikatakan saya jarang sekali bepergian jauh sendiri. Ke luar kota yang saya jalani sendiri adalah ke Bandung, itu pun selalu dijemput teman di stasiun. Saya selalu nyasar. Saya mudah melupakan sesuatu. You know, clumsy little sister. Ini seperti pengalaman yang tertulis di buku 30 Paspor (dan kebetulan saya mengedit seri keduanya hehehe). After this, saya benar-benar ingin mengajarkan anak-anak saya untuk berani dan pintar saat bepergian sendiri sedini mungkin.

Oke, hanya ada saya dan print out tiket. Use your eyes and ears, Ati. Saya mengantri tiket, imigrasi dan kemudian akhirnya duduk di ruang tunggu. Fiuuuh .... Saya naik Lion Air saat itu. Usai mendapat kursi yang persis di samping jendela (alhamdulillah), saya pun menunggu. Peringatan untuk mengenakan sabuk karena pesawat akan terbang sudah terdengar. Saya keluarkan sebatang kumpulan sugus untuk menghindari sakit kuping saat pesawat lepas landas dan mendarat. Dan rupanya itu pilihan yang salah. Harusnya saya beli permen karet saja. Untuk lepas landas pun pesawat mengantri, saya sudah kadung mengunyah sugus yang cepat sekali larut di mulut. Entah berapa sugus yang akhirnya saya makan hingga pesawat benar-benar lepas landas.

Sebenarnya saya tidak berhenti khawatir hingga kemudian  saya melihat catatan yang dibuka seorang bocah yang duduk di samping saya. Singapura adalah negara yang disiplin dan teratur. Okehlah, teratur, setidaknya ketika saya tersesat, saya tidak tiba-tiba berada di negeri antah berantah. Toh, saya ada teman yang hendak dikunjungi di Singapura dan tentu my partner in crime si sesama korean freak.


SINGAPURA, AKU DATANG

Yeah, like who care?

Dipijak juga bandara Changi ini. Saya tiba sekitar pukul 11 waktu Singapura. Ada sedikit sedih ketika turun dan melihat penumpang lain berfoto-foto dengan teman atau keluarga, sedangkan saya? Sepertinya terpaksa selfie, saya butuh dokumentasi untuk laporan saya hehehe....

Tentu saja tujuan utama adalah kloset. Mumpung masih di tempat yang jelas segala sesuatunya, mending dituntaskan saja di sini. Keluar dari restroom, senyum saya merekah lebar melihat deretan komputer. Oh yes baby, free internet. Ah, noraklah saya. Ya, gimana dong, pulsa saya hanya diisi Rp100000,- dan akan berada dalam flight mode hingga saya kembali ke Jakarta. Free internet adalah bentuk penghematan. Nah biar ga terlalu kelihatan ngiler, saya mampir ke sampingnya, ada rak brosur bandara. Bandara Changi kan memang terkenal memiliki hiburan yang lebih lengkap ketimbang Soetta, jadi yah pantaslah ada buklet yang menerangkan berbagai tempat kebanggan Changi. Saya duduk manis di sebuah bangku panjang sambil lama memerhatikan buklet tersebut. Barulah setelah itu, saya berjalan sok cool ke deretan komputer itu.

Halah, siapa juga yang liatin sih?

Komputer itu bisa digunakan selama 20 menit secara gratis, setelah itu mati dengan sendirinya. Kok bisa? Bisa dong, pasang kompi tersebut di meja dengan ukuran tinggi yang aneh dan tanpa bangku, maka Anda tidak akan mau berlama-lama di kompi itu hehehe ....

Saya gunakan saat itu untuk menghubungi teman saya, sekadar mengkonfirmasi apakah kami jadi ketemuan. Mengingat teman saya itu juga ada acara di tempat yang jauh dan konser yang saya datangi usai cukup larut. Mengirim pesan pada si korean freak, aih kusebut saja namanya, Ditta. Pegel pula awak nih. Pasang status norak yang menunjukkan lokasi. Dan sebenarnya itu cara saya mengatakan pada orang-orang yang memikirkan saya bahwa saya baik-baik saja.

Setelah itu, saya menyempatkan diri berkeliling Changi. Sekadar meluruskan kaki sekaligus pemanasan sebelum melakukan banyak aktivitas jalan kaki di Singapura. Yah overall, kaya mall lah Changi ini. Pemandangan luarnya biasa saja, cenderung gersang, tapi mereka membuat gemerlap di dalam, yah bolehlah. Ini namanya meningkatkan kualitas hidup secara mandiri.

Saya sebenarnya tertarik dengan tur gratis keliling Singapura selama dua jam yang ditawarkan Changi. Namun, sayang hanya berlaku bagi yang melakukan transit di Singapura selama 5 jam. 

Hanya berjalan-jalan sebentar tapi waktu sudah menunjukkan pukul 12 siang. Saya setidaknya harus sudah ada di venue di Singapore Indoor Stadium pukul 4. Jadi, kalau mau jalan-jalan, kayanya harus keluar segera dari bandara.  Lalu saya berkeliling lagi, bukannya apa-apa, saya tidak tahu ke mana jalan keluarnya. *tepok jidat

Yah sudahlah, tanya saja.

FYI, saya itu rada parno sama segala bentuk pegawai semacam SPG, SPB, pegawai informasi, customer service, dan semacamnya. But i have to ask, kalau tidak mau ngider-ngider ga jelas. Yah sudah, saya tanya, “How do I get out of here?” oh Amy, tidak adakah kalimat berbahasa Inggris yang lebih baik dari itu?



Antrian di imigrasi cukup panjang dan lama. Saya lama menghabiskan waktu berdiri sambil melihat peta promo tempat wisata di Singapura, yang tadinya mau ke taman ini itu akhirnya fokus ke SIS saja mengingat sudah lama sekali saya mengantri dan ini sudah jam setengah 1. Perut mulai lapar. Bumil harus sering ngemil tapi diingatkan teman bahwa tidak boleh makan sembarangan di Singapura. Hadooooh.

Akhirnya saya tiba di hadapan petugas imigrasi. Cewe keturunan India. Baru ganti shift jadi segar banget. Sesegar pertanyaan tegasnya soal alasan saya tidak menuliskan alamat di Singapura. Yah, saya bilang saja, “konsernya baru selesai jam 10 malem kali neng. Pesawat berangkat jam 8. Ngapain juga bobok di hotel.” Hehehe, ga gitu juga sih ngomongnya. Lalu dia minta bukti tiket konser. Syukur ga lupa di print tuh tiket. Akhirnya saya boleh pergi asal meninggalkan nomor handphone, dan kayanya saya salah menuliskan nomor :p


DEBUT di MRT

Perlu bertanya pada satu petugas informasi lagi untuk akhirnya menemukan stasiun MRT yang memang terhubung langsung dengan bandara. Ini adalah sesuatu yang sangat praktis. Saya yang sudah girang ada transjakarta yang berhenti di Ancol dekat Dufan ini tentu kaya ketemu sebuah solusi paling cihuy ketika ketemu MRT. Apalagi saya menghabiskan banyak tahun menjadi anak kereta.

Namun yang pertama kali harus saya lakukan adalah, beli tiket. Saya sudah diberitahu soal mesin tiket, nah masalahnya saya tidak tahu cara menggunakan mesin tersebut. Mana tangan gue bau. Nanti saya digalakin pula sama orang Singapura yang dalam otak saya cukup galak jika menyebabkan antrian panjang.

Jadi saya lihat satu pasangan tengah mencoba menggunakan mesin tersebut. Kayanya mereka juga bingung. Ah mumpung sepi, saya coba mesin di sebelahnya. Daaan saya bengong. Dari pantulan mesin itu saya melihat ada yang mengantri di belakang saya, saya pun menyingkir dan membiarkan lelaki berbackpacker itu menggunakannya terlebih dahulu, sedangkan saya mengamati dari samping.

Tentulah lelaki ini sadar saya memerhatikannya dan usai dia dapatkan tiket, dia tanya pada saya apakah saya tahu cara menggunakan mesin tersebut dalam bahasa melayu. Saya menggeleng. Lalu dia pun menjelaskan. Which was pretty easy. Layar awal tekan pilihan “tiket regular”, lalu akan muncul rute MRT. Pilih lokasi, terlihat digit nominal di kiri atas, masukkan uang, lalu keluarlah tiket beserta kembalian.
lelaki bercelana pendek paling kanan adalah orang yang membantuku menggunakan mesin tiket MRT

Saya baru tahu belakangan ada cara yang lebih mudah lainnya dari Ditta. Dia pakai flazz card kalau ga salah. Jadi tinggal tap dan tap, ga perlu antri mesin tiket. Lain lah kalau sudah pengalaman.

Berbekal aplikasi MRT di handphone dan peta kecil di tangan, saya naik MRT menuju station Stadium.

Use your eyes and ears. Terngiang-ngiang di kuping saya, hingga kemudian saya sadar terlalu banyak menggunakan eyes ketimbang ears ketika MRT yang berhenti di Tanah Merah melaju mundur, kembali ke stasiun Expo. Kupingnya, Ti. Udah ada yang ngomong nih kereta Cuma sampe Tanah Merah, habis itu kudu transit.

Yah sudah, naik dari Expo, bisa juga kok. Yah lumayan lihat langit Singapura lagi, namanya juga MRT, sebagian besar di bawah tanah dan tertutup, ga ada pemandangan.  Cuma di Expo kita bisa lihat deretan apartemen macam Kalibata City Cuma dengan jendela lebih besar, tingkat lebih rendah, dan ga ada mobil yang parkir di bawahnya. Ah teringat mumetnya parkiran di Kalibata City. Orang sini jarang punya mobil kali ya?

Di MRT itu saya jadi punya kesempatan melihat bermacam-macam orang. Melihat aturan-aturan yang berbeda dengan di Jakarta. Bayangin, denda makan di tempat yang dilarang itu SGD5000, beda berapa nol tuh sama SGD50 yang saya selip di dompet?

Nyengir sendiri melihat oma-oma masuk MRT, lalu berdiri dan ... ngapain coba? Nonton film di smartphone-nya. Dia ga pake tablet segede gambreng loh ya. Smartphone-nya ga beda jauh dari milik saya. Kaya sinetron dokter-dokter gitu.


TIBA DI TKP

Station Stadium. Akhirnya sampai juga. Berpapasan juga dengan alay-alay berkaos beragam member YG Entertainment. Yak emak hamil di tengah alay Singapura (dan ternyata banyak juga yang dari Indonesia hehehe ... ga heran yak). Menurut blog review yang saya kunjungi sebelum ke Singapura, jarak stasiun dengan stadium itu 30 menit jalan kaki. Tapi dalam sudut pandang saya, begitu keluar stasiun, itulah stadiumnya. Haiyah ini mah deket. Langsung terhubung dengan Sports Centernya. Semacam Senayan kalau di Jakarta.

Tentu saja kali ini yang saya cari adalah tempat makan. Setelah memastikan di mana Singapore Indoor Stadium, saya menoleh ke arah seberangnya, ada mal. Yes, pasti ada tempat makan. Soalnya ga keliatan ada gerobak-gerobak penjual makanan. Padahal kan ada konser di sini.

Mal itu sendiri ga besar sih menurutku, hanya tiga tingkat tetapi memang masih mengusung tema sporty. Jadi di sana ada indoor wall climbing dan di lantai teratas ada arena main air. Saya sih mencari food court yang ternyata pendek saja. Kirain bohongan.

Dan seperti yang saya alami di Semarang, saya ’terpaksa’ cari yang halal. Kebanyakan konter pasti ada menu babinya, jadilah saya pilih yang hanya menyediakan makanan melayu. Nasi dengan ayam kuah kuning. Dan apa nama tempatnya? “Warung Padang”. Haiyah, emang ga bakat wisata kuliner gue. Menu seharga SGD4 sajah. Lumayan.

Minumnya belum beli. Saya lihat ada konter jus, tetapi konter jus ini terlihat lebih dinamis ketimbang di Jakarta. Bisa jadi karena di Jakarta kebanyakan konter penjual makanan pun menjual minuman. Saya pilih tropical juice seharga SGD4, yang disuguhkan dalam gelas toples besar. Secara kuantitas mungkin tidak akan cukup hingga konser usai nanti, but I need these vitamin C, ada nanas, jeruk, dan apalagi ya ... oh mangga. Rasanya segar di bawah terik matahari.

Usai makan minum yang cepat itu, waktu menunjukkan pukul 3. Mengecek posisi Ditta via FB (bahkan sampai sekarang aku ga tahu nomor hp-nya), lalu berjalan melihat sekitar. Sebentar saja memerhatikan dari balkon mal, sekelompok orang berlatih voli pantai sambil dibelakangi danau. Sambil mikir, kenapa di Senayan ga ada tempat buat voli pantai ya? Sepertinya luasnya ga kalah, yah mungkin bisa saja saya salah.

Nah dasar ibu-ibu, saya akhirnya lebih tertarik mendekat ke mana banyak anak-anak berkumpul. Sedang ada acara family event gitu di sana, jadi ada beberapa atraksi tambahan. Saya duduk di antara mal dan stadium hingga Ditta datang.



bersambung .... 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar