Seperti yang sudah diceritakan di postingan sebelumnya, saya
sudah ada rencana menonton konser di Singapura pada 13 September lalu, lebih tepatnya YG Family in
Concert. Yoi, perusahaan agensinya Bigbang, 2Ne1, Winner, Akmo, dll. Saya sih
tentu saja ingin melihat TOP Bigbang (hohohoh....).
Ini sebenarnya rencana saya dalam rangka menuntaskan fantasi
saya terhadap si Choi Seung Hyun alias TOP Bigbang. Sejak tahun lalu sudah
berencana ingin menonton konsernya di luar Indonesia. KL adalah rencana
awalnya, karena saya ingin bawa anak-anak ke Legoland Johor Baru. Sudah
berhitung tetapi gagal menabung. Hingga kemudian terbitlah berita bahwa YG
entertainment akan melakukan konser gabungan di Singapura. Ini seperti menepuk
2-3 nyamuk dalam satu tepukan!
Hari itu bulan puasa, iseng saya menghubungi salah satu
rekan kerja junior saya di eks kantor. Saya tahu dia termasuk yang korean freak
di mata saya. Gayung bersambut. Dan ketika saya kesulitan membeli tiket secara
online, dialah yang membantu saya. Bukan tiket dengan harga paling mahal, dua
tahun yang lalu saya sudah pernah melihat TOP dari pinggir panggung, jadi
mundur sedikit ga apa-apalah, kudu realistis dengan bujet soalnya.
Lucunya, awalnya saya berniat tidak mau memberitahu suami
terkait mau nonton konser di Singapura ini. Toh, saya hanya izin semalam, ga
pake nginep di hotel. Bukannya ga mau bawa anak-anak, ga mampu bayarnya cuy.
Aih tapi rupanya, kartu kredit saya tidak bisa digunakan
karena kodenya dikirim ke nomor handphone saya yang lama. Dan dalam keadaan
terburu-buru juga kebelet, saya pun meminjam kartu kredit suami. Ketahuan
deeeeeh ....
Walau kabar kehamilan ini agak bikin garuk-garuk kepala
terutama karena hanya detik-detik menjelang keberangkatan, saya rasa keputusan
ini pun dirasa paling tepat, karena saya tidak akan bisa menengok konser apa
pun for the next 2 years! So i guess, saya harus benar-benar menikmatinya.
PERSIAPAN
Oke karena saya hanya sendiri berangkatnya, saya berencana
hanya pergi dengan satu tas ransel. Hei, kapan lagi bawa ransel yang isinya
bukan baju anak-anak? Saya tidak pergi bareng dengan teman saya yang disebutkan
sebelumnya, dia pergi lebih dulu. Saya karena status ibu-ibu beranak dua harus
menggunakan jadwal paling lambat pergi, paling awal kembali. Hehehe.
Dan jika terlihat dari paragraf sebelumnya, bisa dipastikan
keuangan saya sebenarnya lagi ga bagus. Alias pas-pasan. Toh, saya tutup mata
ketika memasukkan uang SGD60 ke dompet. Ya, saya hanya bawa segitu ke negara
yang termasuk sebagai negara paling mihil di dunia. SGD10 saya minta dalam bentuk
recehan alias SGD2, untuk biaya transportasi. Tapi tenang, suami secara sepihak
membekali saya uang sejuta pas. Untuk jaga-jaga. “Daripada kamu nanti tiba-tiba
telepon nangis-nangis karena ga punya uang.”
Rasanya ingin saya getok dia, tapi yah ada benarnya juga
hehehe....
BERANGKAAAT
Pesawat saya berangkat pukul 9 kurang, tapi saya putuskan
keluar dari rumah usai subuh. Menghindari anak-anak bangun yang kemungkinan
akan menimbulkan drama. Suami sudah memanggil keponakannya sebagai bala
bantuan. Kaos bergambar dua kartu King Queen dengan wajah saya dan TOP pun
sudah diprint dan dipakai. (thanks to my big bro yang bersedia melakukan
digitalisasinya walau sang istri lagi sakit).
Hari masih gelap begitu keluar Kalibata City. Saya
menghentikan mikrolet yang berjalan cepat menuju lampu merah dan di sanalah
saya menunggu damri. Saya baru tahu bahwa di jam segitu pun ada orang yang
menawarkan tumpangan, yah ga tahu deh ini tawaran baik atau tidak. Toh saya
hanya butuh damri. Sekitar 10 menit kemudian, damri itu pun datang dan membawa
saya tiba di Soetta terminal 3 dalam waktu 45 menit.
Bandara. Rasanya saya tidak bisa dan tidak boleh berputar
haluan. Saya bukan orang yang sering
menggunakan pesawat. Jika dihitung-hitung, saya baru menggunakan pesawat
selama 4 kali dalam hidup saya. Jadi saya kurang pede dengan sistematisasi
bandara. Maklum, bisa dikatakan saya jarang sekali bepergian jauh sendiri. Ke
luar kota yang saya jalani sendiri adalah ke Bandung, itu pun selalu dijemput
teman di stasiun. Saya selalu nyasar. Saya mudah melupakan sesuatu. You know,
clumsy little sister. Ini seperti pengalaman yang tertulis di buku 30 Paspor
(dan kebetulan saya mengedit seri keduanya hehehe). After this, saya
benar-benar ingin mengajarkan anak-anak saya untuk berani dan pintar saat
bepergian sendiri sedini mungkin.
Oke, hanya ada saya dan print out tiket. Use your eyes and
ears, Ati. Saya mengantri tiket, imigrasi dan kemudian akhirnya duduk di ruang
tunggu. Fiuuuh .... Saya naik Lion Air saat itu. Usai mendapat kursi yang persis
di samping jendela (alhamdulillah), saya pun menunggu. Peringatan untuk
mengenakan sabuk karena pesawat akan terbang sudah terdengar. Saya keluarkan
sebatang kumpulan sugus untuk menghindari sakit kuping saat pesawat lepas
landas dan mendarat. Dan rupanya itu pilihan yang salah. Harusnya saya beli
permen karet saja. Untuk lepas landas pun pesawat mengantri, saya sudah kadung
mengunyah sugus yang cepat sekali larut di mulut. Entah berapa sugus yang
akhirnya saya makan hingga pesawat benar-benar lepas landas.
Sebenarnya saya tidak berhenti khawatir hingga kemudian saya melihat catatan yang dibuka seorang
bocah yang duduk di samping saya. Singapura
adalah negara yang disiplin dan teratur. Okehlah, teratur, setidaknya
ketika saya tersesat, saya tidak tiba-tiba berada di negeri antah berantah.
Toh, saya ada teman yang hendak dikunjungi di Singapura dan tentu my partner in
crime si sesama korean freak.
SINGAPURA, AKU DATANG
Yeah, like who care?
Dipijak juga bandara Changi ini. Saya tiba sekitar pukul 11
waktu Singapura. Ada sedikit sedih ketika turun dan melihat penumpang lain
berfoto-foto dengan teman atau keluarga, sedangkan saya? Sepertinya terpaksa
selfie, saya butuh dokumentasi untuk laporan saya hehehe....
Tentu saja tujuan utama adalah kloset. Mumpung masih di
tempat yang jelas segala sesuatunya, mending dituntaskan saja di sini. Keluar
dari restroom, senyum saya merekah lebar melihat deretan komputer. Oh yes baby,
free internet. Ah, noraklah saya. Ya, gimana dong, pulsa saya hanya diisi
Rp100000,- dan akan berada dalam flight mode hingga saya kembali ke Jakarta.
Free internet adalah bentuk penghematan. Nah biar ga terlalu kelihatan ngiler,
saya mampir ke sampingnya, ada rak brosur bandara. Bandara Changi kan memang
terkenal memiliki hiburan yang lebih lengkap ketimbang Soetta, jadi yah
pantaslah ada buklet yang menerangkan berbagai tempat kebanggan Changi. Saya
duduk manis di sebuah bangku panjang sambil lama memerhatikan buklet tersebut.
Barulah setelah itu, saya berjalan sok cool ke deretan komputer itu.
Halah, siapa juga yang liatin sih?
Komputer itu bisa digunakan selama 20 menit secara gratis,
setelah itu mati dengan sendirinya. Kok bisa? Bisa dong, pasang kompi tersebut
di meja dengan ukuran tinggi yang aneh dan tanpa bangku, maka Anda tidak akan
mau berlama-lama di kompi itu hehehe ....
Saya gunakan saat itu untuk menghubungi teman saya, sekadar
mengkonfirmasi apakah kami jadi ketemuan. Mengingat teman saya itu juga ada
acara di tempat yang jauh dan konser yang saya datangi usai cukup larut. Mengirim
pesan pada si korean freak, aih kusebut saja namanya, Ditta. Pegel pula awak nih. Pasang status norak
yang menunjukkan lokasi. Dan sebenarnya itu cara saya mengatakan pada
orang-orang yang memikirkan saya bahwa saya baik-baik saja.
Setelah itu, saya menyempatkan diri berkeliling Changi.
Sekadar meluruskan kaki sekaligus pemanasan sebelum melakukan banyak aktivitas
jalan kaki di Singapura. Yah overall, kaya mall lah Changi ini. Pemandangan
luarnya biasa saja, cenderung gersang, tapi mereka membuat gemerlap di dalam,
yah bolehlah. Ini namanya meningkatkan kualitas hidup secara mandiri.
Saya sebenarnya tertarik dengan tur gratis keliling
Singapura selama dua jam yang ditawarkan Changi. Namun, sayang hanya berlaku
bagi yang melakukan transit di Singapura selama 5 jam.
Hanya berjalan-jalan sebentar tapi waktu sudah menunjukkan
pukul 12 siang. Saya setidaknya harus sudah ada di venue di Singapore Indoor
Stadium pukul 4. Jadi, kalau mau jalan-jalan, kayanya harus keluar segera dari
bandara. Lalu saya berkeliling lagi,
bukannya apa-apa, saya tidak tahu ke mana jalan keluarnya. *tepok jidat
Yah sudahlah, tanya saja.
FYI, saya itu rada parno sama segala bentuk pegawai semacam
SPG, SPB, pegawai informasi, customer service, dan semacamnya. But i have to
ask, kalau tidak mau ngider-ngider ga jelas. Yah sudah, saya tanya, “How do I
get out of here?” oh Amy, tidak adakah kalimat berbahasa Inggris yang lebih
baik dari itu?
Antrian di imigrasi cukup panjang dan lama. Saya lama
menghabiskan waktu berdiri sambil melihat peta promo tempat wisata di
Singapura, yang tadinya mau ke taman ini itu akhirnya fokus ke SIS saja
mengingat sudah lama sekali saya mengantri dan ini sudah jam setengah 1. Perut
mulai lapar. Bumil harus sering ngemil tapi diingatkan teman bahwa tidak boleh
makan sembarangan di Singapura. Hadooooh.
Akhirnya saya tiba di hadapan petugas imigrasi. Cewe
keturunan India. Baru ganti shift jadi segar banget. Sesegar pertanyaan
tegasnya soal alasan saya tidak menuliskan alamat di Singapura. Yah, saya
bilang saja, “konsernya baru selesai jam 10 malem kali neng. Pesawat berangkat
jam 8. Ngapain juga bobok di hotel.” Hehehe, ga gitu juga sih ngomongnya. Lalu
dia minta bukti tiket konser. Syukur ga lupa di print tuh tiket. Akhirnya saya
boleh pergi asal meninggalkan nomor handphone, dan kayanya saya salah
menuliskan nomor :p
DEBUT di MRT
Perlu bertanya pada satu petugas informasi lagi untuk
akhirnya menemukan stasiun MRT yang memang terhubung langsung dengan bandara.
Ini adalah sesuatu yang sangat praktis. Saya yang sudah girang ada transjakarta
yang berhenti di Ancol dekat Dufan ini tentu kaya ketemu sebuah solusi paling
cihuy ketika ketemu MRT. Apalagi saya menghabiskan banyak tahun menjadi anak
kereta.
Namun yang pertama kali harus saya lakukan adalah, beli tiket.
Saya sudah diberitahu soal mesin tiket, nah masalahnya saya tidak tahu cara
menggunakan mesin tersebut. Mana tangan gue bau. Nanti saya digalakin pula sama
orang Singapura yang dalam otak saya cukup galak jika menyebabkan antrian
panjang.
Jadi saya lihat satu pasangan tengah mencoba menggunakan
mesin tersebut. Kayanya mereka juga bingung. Ah mumpung sepi, saya coba mesin
di sebelahnya. Daaan saya bengong. Dari pantulan mesin itu saya melihat ada
yang mengantri di belakang saya, saya pun menyingkir dan membiarkan lelaki
berbackpacker itu menggunakannya terlebih dahulu, sedangkan saya mengamati dari
samping.
Tentulah lelaki ini sadar saya memerhatikannya dan usai dia
dapatkan tiket, dia tanya pada saya apakah saya tahu cara menggunakan mesin
tersebut dalam bahasa melayu. Saya menggeleng. Lalu dia pun menjelaskan. Which was
pretty easy. Layar awal tekan pilihan “tiket regular”, lalu akan muncul rute
MRT. Pilih lokasi, terlihat digit nominal di kiri atas, masukkan uang, lalu
keluarlah tiket beserta kembalian.
lelaki bercelana pendek paling kanan adalah orang yang membantuku menggunakan mesin tiket MRT |
Saya baru tahu belakangan ada cara yang lebih mudah lainnya
dari Ditta. Dia pakai flazz card kalau ga salah. Jadi tinggal tap dan tap, ga
perlu antri mesin tiket. Lain lah kalau sudah pengalaman.
Berbekal aplikasi MRT di handphone dan peta kecil di tangan,
saya naik MRT menuju station Stadium.
Use your eyes and ears.
Terngiang-ngiang di kuping saya, hingga kemudian saya sadar terlalu banyak
menggunakan eyes ketimbang ears ketika MRT yang berhenti di Tanah Merah melaju
mundur, kembali ke stasiun Expo. Kupingnya, Ti. Udah ada yang ngomong nih
kereta Cuma sampe Tanah Merah, habis itu kudu transit.
Yah sudah, naik dari Expo, bisa juga kok. Yah lumayan lihat
langit Singapura lagi, namanya juga MRT, sebagian besar di bawah tanah dan
tertutup, ga ada pemandangan. Cuma di
Expo kita bisa lihat deretan apartemen macam Kalibata City Cuma dengan jendela
lebih besar, tingkat lebih rendah, dan ga ada mobil yang parkir di bawahnya. Ah
teringat mumetnya parkiran di Kalibata City. Orang sini jarang punya mobil kali
ya?
Di MRT itu saya jadi punya kesempatan melihat bermacam-macam
orang. Melihat aturan-aturan yang berbeda dengan di Jakarta. Bayangin, denda
makan di tempat yang dilarang itu SGD5000, beda berapa nol tuh sama SGD50 yang
saya selip di dompet?
Nyengir sendiri melihat oma-oma masuk MRT, lalu berdiri dan
... ngapain coba? Nonton film di smartphone-nya. Dia ga pake tablet segede
gambreng loh ya. Smartphone-nya ga beda jauh dari milik saya. Kaya sinetron
dokter-dokter gitu.
TIBA DI TKP
Station Stadium. Akhirnya sampai juga. Berpapasan juga
dengan alay-alay berkaos beragam member YG Entertainment. Yak emak hamil di
tengah alay Singapura (dan ternyata banyak juga yang dari Indonesia hehehe ...
ga heran yak). Menurut blog review yang saya kunjungi sebelum ke Singapura,
jarak stasiun dengan stadium itu 30 menit jalan kaki. Tapi dalam sudut pandang
saya, begitu keluar stasiun, itulah stadiumnya. Haiyah ini mah deket. Langsung
terhubung dengan Sports Centernya. Semacam Senayan kalau di Jakarta.
Tentu saja kali ini yang saya cari adalah tempat makan.
Setelah memastikan di mana Singapore Indoor Stadium, saya menoleh ke arah
seberangnya, ada mal. Yes, pasti ada tempat makan. Soalnya ga keliatan ada
gerobak-gerobak penjual makanan. Padahal kan ada konser di sini.
Mal itu sendiri ga besar sih menurutku, hanya tiga tingkat
tetapi memang masih mengusung tema sporty. Jadi di sana ada indoor wall
climbing dan di lantai teratas ada arena main air. Saya sih mencari food court
yang ternyata pendek saja. Kirain bohongan.
Dan seperti yang saya alami di Semarang, saya ’terpaksa’
cari yang halal. Kebanyakan konter pasti ada menu babinya, jadilah saya pilih
yang hanya menyediakan makanan melayu. Nasi dengan ayam kuah kuning. Dan apa
nama tempatnya? “Warung Padang”. Haiyah, emang ga bakat wisata kuliner gue.
Menu seharga SGD4 sajah. Lumayan.
Minumnya belum beli. Saya lihat ada konter jus, tetapi
konter jus ini terlihat lebih dinamis ketimbang di Jakarta. Bisa jadi karena di
Jakarta kebanyakan konter penjual makanan pun menjual minuman. Saya pilih
tropical juice seharga SGD4, yang disuguhkan dalam gelas toples besar. Secara
kuantitas mungkin tidak akan cukup hingga konser usai nanti, but I need these
vitamin C, ada nanas, jeruk, dan apalagi ya ... oh mangga. Rasanya segar di
bawah terik matahari.
Usai makan minum yang cepat itu, waktu menunjukkan pukul 3.
Mengecek posisi Ditta via FB (bahkan sampai sekarang aku ga tahu nomor hp-nya),
lalu berjalan melihat sekitar. Sebentar saja memerhatikan dari balkon mal,
sekelompok orang berlatih voli pantai sambil dibelakangi danau. Sambil mikir,
kenapa di Senayan ga ada tempat buat voli pantai ya? Sepertinya luasnya ga
kalah, yah mungkin bisa saja saya salah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar