Suatu hari kunjungan saya ke toko buku di mal sebelah seolah
melemparkan saya ke masa lalu. Itulah saat saya melihat deretan serial JIP dan
JANEKE versi Bahasa Indonesia! Yeay! Saking semangatnya, saya ambil seri
pertama sebagai hadiah untuk salah satu keponakan. Sekadar menunjukkan ini loh
buku anak bermutu sepanjang masa. Hehehehe, saya memang suka serial ini, jauh
sebelum buku ini menjadi tugas ‘lezen’ alias membaca saat kuliah di Program
Studi Belanda, FIB UI. Pada awal-awal ketibaan saya dan keluarga ke Jakarta,
mama sempat rutin membawa kami ke sebuah lorong ajaib berisi buku-buku
menjulang tinggi ke atap alias perpustakaan di Erasmus Huis. Mungkin karena
kakak-kakak saya masih menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa utamanya. Saya
ingat melihat salah satu buku JIP dan JANEKE walau tidak mengerti bahasanya
(dan karena memang belum bisa baca juga). Baru benar-benar bacanya ya waktu
jadi mahasiswa, sekitar 18 tahun kemudian?
Maka semangatlah saya melakukan jadwal kunjungan berikutnya
ke toko buku. Kali ini membawa bujet khusus untuk serial yang seharga Rp37500,-
itu. Maklum, saya lihat sudah ada setidaknya 4 seri yang terpajang di rak
paling bawah itu. Sedih rasanya ketika mengetahui saya kehilangan seri
pertamanya. Ya sudslah, ambil saja yang kedua dulu. Dan begitu membelinya, saya
merasa tengah mendapatkan alasan kembali untuk mengoleksi buku-buku anak keren.
Gimana ga keren, JIP dan JANEKE diklaim sebagai salah satu literasi klasik sepanjang zaman dan sudah diterbitkan dalam 14 bahasa dunia. Ga usah dihitung berapa eksemplar yang sudah terjual hehehe.
Lama buku itu tersimpan berbungkus plastik. Berbulan-bulan.
Karena saya klaim sebagai milik saya, bukan anak-anak. Ketika dibuka pun, saya
tidak serta merta menawarkan pada anak-anak. Malika sendiri yang minta karena
melihat ternyata itu buku anak-anak. Ilustrasinya lucu karena menggambarkan JIP
dan JANEKE berkulit (bahkan berambut) hitam sepenuhnya. Tentu ini bukan terkait
ras tertentu, hanya bagian dari seni menggambar.
JIP dan JANEKE adalah sahabat yang juga bertetangga. Mereka
saling mengunjungi satu sama lain. Dan ketika bermain, mereka bisa disebut
partner in crime karena permainannya ga pernah benar-benar sesuai kaidah. Hmm
it reminds me of two little kids at home. Tak jarang, ulah mereka itu tidak
hanya membuat para ibu melotot tapi juga membuat Jip dan Janeke kena batunya.
Seperti ketika Jip bosan menemani Janeke bermain
manik-manik, padahal dia ingin bermain lari-lari. Akhirnya manik-manik milik
Janeke dia masukkan ke sepatu ayahnya, ke panci nasi, ke botol selai, dan
terakhir, ke dalam hidungnya. Barulah saat itu dia panik, untunglah ibu selalu
mendengar teriakan tolong Jip dan kemudian mengeluarkan manik-manik dari
dalamnya.
Ada 40 cerita dalam setiap serinya. Kelucuan mereka
sebenarnya tergolong dalam batas aman. Jadi tidak mendorong anak-anak dalam
fantasi yang terlalu liar bin heboh, yang walau di akhir cerita ditampilkan
kesialannya tetapi faktor ‘fun’nya lebih mendominasi.
Namun sayang, cerita ini jadi kurang menarik ketika saya
membacakannya untuk Malika. Berulang kali saya berharap menggunakan kalimat
saya sendiri. Oh my God terjemahannya. Betul sih, saya bisa membayangkan bahasa
Belandanya, tapi ga pas di tata bahasa Indonesia. Padahal bisa dibuat lebih
luwes. Kayanya proses penerbitannya tidak melibatkan editor deh, dari
penerjemah langsung. Atau jangan-jangan ini hasil terjemah JIP dan JANEKE versi
jadul yang masih berjudul TINI dan TONO? Entahlah. Saya curiga karena penerjemahnya
menggunakan kata ‘saya’ di percakapan anak-anak itu. Sebuah tren masa dulu.
Saya ingat ibu saya lebih menilai sopan untuk sebutan ‘saya’ ketimbang ‘aku’
dari ucapan cucu-cucunya. Jangan-jangan
itulah alasan serial tersebut menempati rak terbawah? Aih, sayang sekali.
Ah, saya jadi rindu fotokopian JIP en JANEKE yang ada di
rumah mama.
Fotodiambil dari www.goodreads.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar