Tidak perlu di tower yang sama, Bang. Mungkin di tower seberang agar kami bisa mampir jelang sore di akhir pekan untuk sekadar minum teh atau berbagi kue resep baru. Atau menodong komik baru untuk kubaca. Basa basi yang kemudian mengantarmu ke rumahku, membereskan semua yang rusak yang tadi aku ceritakan. Tidak perlu menunggu tahunan dan tiket puluhan juta untuk urusan stem gitar.
Seandainya yang tinggal di samping unitku bukan gerombolan penghibur amatir tapi kamu, Kak. Pasti aku terbiasa bertelanjang kaki mengetuk pintumu subuh-subuh untuk meminta sedikit bawang merah. Tidak perlu menunggu usai semua jadwal anak sekolah. Aku tahu pasti tidak akan menerima segenggam bawang melainkan lauk siap makan untuk beberapa hari mendatang.
Seandainya kau tetap menjadi seorang pekerja lepas, Bang. Yang setiap kali aku tidak enak badan, akan meneleponmu dan kamu akan datang. Tidak hanya untuk menemani anak-anak tetapi juga merapikan semua yang tidak bisa aku sentuh. Saat ketika aku merasa kau orang paling flexibel sedunia. Ah, mungkin itu akan segera berakhir ketika si jodoh datang.
Tapi tak ada yang selamanya ada. Jarak dari kamar ke kamar yang kemudian menjauh menjadi rumah ke rumah bahkan negara ke negara adalah bukti bahwa hidup adalah dinamis. Terkadang aku merasa tidak terbiasa. Inilah si bungsu yang selalu membawa kalimat permintaan setiap kali dia melongokkan kepalanya di pintu kamar kakak-kakaknya.
Tapi mungkin benar kata orang, jika dekat saling bermusuhan, saat jauh saling merindukan. Well, kami tidak pernah benar-benar bermusuhan sih, tapi yah mungkin Tuhan hendak menjaga romansa di antara kami. Ah, sok teu deh kamyuuu ....
*Dan aku kembali dalam lamunan hampa.
kalcit tower mana mak? aih.. deketan ternyata.. :D
BalasHapusAku di borneo maaak, dirimu di mana?
Hapus