Sejak mengetahui hamil lagi, saya sempat sombong. “Hamil
lagi? Mau apa lagi, sih (Tuhan)? Hamil sambil kerja, sudah pernah. Hamil di
rumah saja, juga sudah pernah.” Rupanya saya lupa bahwa ada sekian banyak
kondisi lingkungan bagi ibu-ibu hamil di luar sana, termasuk yang ecek-ecek
macam saya. Hamil sambil mengurus dua
anak, di rumah sendiri, sendirian. Yah, kami baru pindah ke Kalibata City 40
hari pascamelahirkan anak ke-2. Jadi, secara teknis, ini adalah kondisi yang
baru bagi saya.
Hamilnya rewel. Begitu istilah orang-ora ng. Dua kali hamil, saya memang bisa dikatakan tidak terlalu banyak kendala, beda dengan yang ketiga ini. Entah apakah karena saya sambil momong dua anak atau memang bawaan bayi. Pokoknya ribet, deh.
1.
Stamina Kok Loyo?
Catatan nomor satu saya adalah stamina.
Sejak awal belum tahu hamil, tanda-tanda yang ditunjukkan adalah lemas
berkepanjangan, pening, dan mulas. Dan ketika kehamilan terkonfirmasi, ketiga
subjek tersebut makin menjadi-jadi. Untuk pertama kalinya saya terganggu dengan
rasa mual. Biasanya di semester 1 adalah saat bagi saya untuk banyak makan.
Beneran. Bagi kebanyakan bumil mungkin semester 1 adalah fase muntah-muntah,
saya malah bisa makan menu bufet sebanyak delapan kali.
Nah, yang sekarang juga sih, tapi yang
terbesit duluan bukan rasa lapar seperti biasa, melainkan mual. Mual yang jika
tidak diberi makan akan lebih merongrong otak sehingga berakibat badan lemas
sepanjang hari. Syukur ga muntah. Dan
rasanya apa pun yang masuk ke dalam perut ini, ga cocok juga dengan keinginan
sejati. Entah apa itu. Rasanya sih ingin makan buah saja. Tapi setiap kali
makan buah, saya jadi sangat kelaparan yang jika diberi menu nasi, rasanya ga
enak juga. Serba
salah, lah.
salah, lah.
Pada saat mual mulas perih kembung itu, Cuma satu menu yang tidak pernah ditolak perut. Sate Padang. Hei, kapan lagi bisa minta dibeliin sate padang hampir tiap hari?
Tidak hanya soal selera makan, hidung saya pun sensitif. Saya ga bisa cium masakan. Ga bisa cium bawang. Ga bisa cuci piring karena bau. Lah trus gimana dong? Awalnya berprinsip, ga masak? Beli. Eh lama-lama, tiris juga gue. Apalagi karena pusing di rumah, saya lebih senang jalan-jalan ke rumah teman. Bisa dapat udara bebas dan ga perlu masak. Tapi ongkosnya, brur.
Setelah dipikir-pikir bolehlah terkadang memaksakan diri, setidaknya masak buat anak-anak biar jelas asupan gizinya. Jadi ya saya lebih sering masak satu menu habis itu tepar seharian. Pernah juga ga mampu masak sama sekali. Alhamdulillah Allah berikan keringan hati bagi anak-anak. “Amy lagi pusing nih. Kita makan telur rebus pakai kecap ya?” “Asyiiiik!!” atau “Amy lagi pusing nih. Makan spageti pake saus tomat, ya?” “Asyiiiik!!!” Urusan serat saya serahkan pada agar-agar dan buah. Makanya saya malah jarang makan buah, sengaja disimpan untuk anak-anak.
Urusan rumah tangga? Ga usah ditanya deh ya. Rumahku itu kapal pecah di bulan-bulan pertama. Pernah dalam sebulan saya lupa kapan terakhir mengepel rumah ‘segede’ itu. Cucian piring segunung. Setrikaan bergunung-gunung. Tapi yang lucu adalah si suami akhirnya bersedia cuci piring. Jadi selain dia harus menerima fakta tidak ada menu masakan untuk dirinya ketika pulang malam banget itu plus harus jajanin sate padang, paginya dia menambah tugas, cuci piring. Yah, walau awal mintanya harus pakai gaya memelas. Habis, cucian piring makin ga dicuci ya makin bau, ya makin semaput lah saya.
Selain minta bantuan suami, saya juga request khusus ke mama. Minta dibuatkan makanan alias ransum buat seminggu dua minggu. Lumayan lah gizi anak-anak agak mendingan. Tapi Cuma seka li aja kok mintanya. Cuma butuh merasa bebas tugas sejenak.
Untuk urusan setrikaan, akhirnya saya minta tolong orang juga. Saya dulu pernah bercakap-cakap dengan salah satu pengasuh teman anak saya yang notabene tinggal satu tower dengan saya. Rupanya walau tinggal bersama majikannya, dia dapat hari libur di Sabtu dan Minggu. Saya minta deh satu hari untuk melakukan pekerjaan rumah tangga terutama menyetrika di rumah saya. Hasilnya, lumayan deh. Ga mumet juga pikiran lihat baju bergunung-gunung gitu. Setidaknya dalam satu minggu ada satu hari ketika rumah saya rapi.
Oh, ada lagi situasi yang harus saya syukuri. Saya nyaris tidak dapat order untuk koekieku. Mungkin bagi para pebisnis kue lainnya ini agak kemunduran, tapi bagi saya inilah berkahnya. Anggap saja Allah sedang memberi saya waktu untuk istirahat dari segala keluhan stamina ini. Rasanya lagi dimanjain.
Keadaan sedikit membaik di semester kedua. Setidaknya untuk urusan masak dan cuci piring saya mulai kuat. Urusan setrikaan, ya ga papa deh diterusin si bibi, toh terkadang kita harus let it go. Hanya saja saya rupanya ga sepenuhnya kuat. Sekarang saya ada keluhan baru, kontraksi. Perut ini sering banget kontraksi yang emang sakit banget. Biasanya saya ga pernah ngeh lagi kontraksi. Sekarang? Bawa obat antikontraksi ke mana-mana. Terasa banget pas belakangan ini, ketika harus berhadapan dengan dua kali libur panjang banget itu. Bukannya bisa istirahat, tapi malah jalan-jalan melulu. Saya sendiri sampai bingung, kok malah ga dapat ‘me time’ sama sekali? Akhirnya gejala mual, mulas, pusing, dan sebagainya muncul lagi. Rasanya kaya orang ga move on, hehehe. Dengan sangat terpaksa, kayanya ga bakal jalan-jalan dulu deh.
2.
Selamat Tinggal Home Schooling
Ketika teman-teman playgroupnya melanjutkan
ke TK, saya memutuskan Malika menunda TK-nya. Berbagai rencana dibuat untuk
kegiatan, tapi apa daya. Hanya berlangsung beberapa bulan, setelah itu si Amy
banyak menghabiskan waktu rebahan di kasur. Inginnya sih rebahan di depan TV
tapi ga punya sofa, jadi pegel banget. Akhirnya anak-anak lebih sering main
bebas.
Yah, punya adik ada untung ruginya sih. Terkadang jadi teman lalu sekejap jadi berantem. Terkadang memudahkan, tak jarang menyulitkan. Pokoknya edisi Malika dan Safir ditantang main bersama dalam waktu lama. Amynya hanya kontrol lewat teriakan-teriakan di kamar, kecuali kalau sudah genting alias bergulat barulah amy bangun.
Bagi Malika sendiri, ada saatnya dia asyik main, ada saatnya dia protes. “Kenapa aku harus jaga anak-anak terus. Aku kan masih anak-anak!” begitulah sebagian dari pidato protesnya. Atau ketika dia bosan, “Kapan Malika masuk TK. Kok lama banget?” Atau ketika dia tepok jidat mengetahui ayahnya harus rebahan (juga) pascacabut gigi “Yaaah, amy dan ayah di Tebet aja deh sampai adek bayi keluar. Habis dua –dua orang tuanya harus rebah-rebah.”
Ada masanya saya gatal sekali ingin memasukkan dia ke kursus apa kek biar ada kegiatan, tapi begitu saya tanya-tanya malah ilfil sendiri. Ke kursus calistung kok rasanya belajar banget, ga ada pergaulannya. Ke kelas bermain, main-main gini mah di rumah juga bisa. Ada saja alasannya.
Akhirnya saya buat kegiatan sendiri. Kelas berenang. Dengan guru, abang saya sendiri alias omnya anak-anak. Yah, lumayan deh satu hari ada kegiatan keluar. Walau ga setiap minggu karena kondisi cuaca. Ingin ikut pengajian di masjid KCS, eh waiting list. Ya suds, sementara ini harus puas dengan satu kegiatan. Toh, tenaga saya suka on off gitu kalau mau anter jemput.
3. Kembali ke Fashion Hamil
Sebenarnya saya bete kembali ke fase ini.
Ketika saya akhirnya membuang bra menyusui dan celana hamil yang sudah dipakai
hampir lima tahun berturut-turut itu saya senang sekali. Yes, freedom!!!! Bisa
pakai baju yang non kancing depan? Liberation!!!! Makanya saya menolak beli
baju hamil dkk. Toh keadaan menuntut lain. Lama-lama badan saya tidak nyaman
dengan baju atau celana yang dipakai sekarang. Jadi ketika di Tebet menemukan
satu bra menyusui lama nyelip di lemari, saya berasa ketemu harta karun. Yes! Freedom? Yah lebih tepatnya comfort. Barulah
setelah itu saya hunting baju dan celana hamil di ol shop.Ga Cuma itu, saya
juga harus beli sepatu dan sendal baru pluuuus jilbab baru. Cukup sekali beli,
masih perlu beli yang lain hehehe Saya ga tahan juga kudu pilih-pilih baju
melulu.
4. Persiapan Jelang Melahirkan
Sekarang usia kehamilan memasuki bulan ke-6
dan yang sejak awal dipikirkan untuk dipersiapkan adalah anak-anak yang sudah
lebih dahulu lahir. Tema besarnya, mendidik mandiri. Kebayang dong, bulan-bulan
pertama, bayinya lagi ga jelas jadwalnya, masih pula ngurusin suapin makan.
Jadi tema kemandirian diterapkan perlahan-lahan terkadang terpaksa juga.
Seperti misalnya mandi sendiri, karena saya ada masa mual dengan bau sabun,
saya biarkan kedua anak itu mandi berdua. Malika yang lebih sering bantuin
Safir menyabuni bagian belakangnya. Namun karena sebentar lagi Malika lima
tahun, saya pun menerapkan batasan baru. Tidak ada lagi mandi bareng cewe dan
cowo. Selain karena jadi main sabun berlebihan, ya karena harus belajar
menghargai malu. Hasilnya? Yah lumayan deh. Walau kalau ada ayahnya, mereka
balik lagi mandi rusuh berdua.
Selain mandi, objek mandiri lainnya adalah anak-anak tidur di kamar anak-anak. Rumah kami hanya dua kamar, dan selama ini anak-anak tidur sama saya di kamar utama, sedangkan ayahnya di kamar yang sejatinya kamar anak. Namun, seiring dengan membesarnya perut, saya mulai kesal dengan keberadaan anak-anak di kasur saya. Bukan hanya soal kasur yang selalu berantakan dan kotor tapi juga kini rasanya saya tidur ditendangi dari berbagai arah. Ya di dalam, ya di luar, ya di kanan, ya di kiri. Ini masih mending ayahnya ga nimbrung. Kalau nimbrung plus kitik-kitik. Halah, get your hands and feet off me!
Namun memindahkan anak-anak ke kamar mereka ga bisa begitu saja. Ada pula yang harus dipersiapkan. Interiornya lebih tepatnya. Jadilah hunting tempat tidur, browsing lemari, banyak deh rencanyanya yang akhirnya ‘Cuma’ mengganti tempat tidur dan exhaust. Malika katanya mau tidur di kamar yang ada AC-nya padahal dia suka kedinginan di kamar saya. Huh
Makan sendiri juga ada persiapan lain. Sedia meja dan kursi kecil. Tapi baru bisa dibeli kalau tempat tidur sudah jadi. Maklumlah, ga ada ruang, jadi harus fix di satu ruang baru bisa tambah barang lain.
Malika sudah mulai saya kenalkan dengan
situasi darurat. Kebetulan jelang HPL, orangtua saya di luar negeri, jadi
kondisinya agak rentan. Ini bocah mau ditaruh di mana ya? Bagaimana kalau saya
pecah ketuban saat suami masih di kantor? Jaraknya saja paling cepat satu jam.
Memang sih di rumah orangtua saya ada abang saya, tapi dia kan single.
Dititipin dua bocah dalam kondisi adiknya mau melahirkan mah bikin senewen lah.
Sedangkan anak-anak bisa jadi ikutan senewen.
Dan karena alasan itulah saya menolak usulan papa untuk pindah ke Tebet. Alasan mereka supaya lebih mudah ditangani jika ada kondisi darurat. Namun menukar waktu beradaptasi untuk satu dua hari kondisi darurat buat saya ga worthed. Karena saya sendiri bukan orang yang mudah beradaptasi, jadi kemungkinan besar anak-anak saya juga begitu. Belum lagi pengalaman baru pindah dulu. Hadeeeuuuh, parah deh. Saya lebih memilih mereka (atau salah satu orangtua saya) yang menginap di sini. Toh, mereka juga pusing karena bakal repot adaptasinya. Tuh, kaaan. Yang tua aja repot, apalagi dua bocah galau ini.
Saya pun mulai menyusun skenario. Orang-orang yang saya kenal di pdkt-in untuk menjadi barisan siaga. Tadinya ada satu tetangga yang saya siapkan eh mendadak hamil dia. Haiyah. Ya sudahlah. Harus cari yang lain. Namun karena dia hamil juga kami jadi ada diskusi terkait menggunakan keberadaan satpam yang memang ada di setiap tower. Mencatatat berbagai nomor darurat. Mencari kemungkinan adanya ambulans stand by di Kalibata City. Menjalin hubungan dengan tukang ojek kepercayaan. Semacam itulah. Sebagai back up dan barisan pelindung terutama untuk anak-anak. Agak sulit karena saya ga percayaan sama orang lain.
Yah di atas itu semua, saya sadar manusia
hanya bisa berencana Tuhan yang menentukan. Dan sependek pengetahuan saya,
ketentuan Tuhan tidak akan memberatkan umatnya melebihi kemampuannya. So I
guess all I can do are get prepare and hope for the best. Doakan sayaaaa :”)
Selamat buat kehamilannya ya mak :) Semoga semuanya berjalan lancar sampai melahirkan nanti. Seneng bacanya.
BalasHapusHehehe terima kasih =) emang perlu byk bdoa n didoain hihihiy
HapusSelamat, selamat! Semoga dilancarkan semuanya. :)
BalasHapusAmiin amiin amiin =)
Hapus