Piknik mengandung makna melakukan kegiatan makan
bersama-sama di luar atau bisa juga sekadar melakukan hal yang menyenangkan.
Melakukan kegiatan di luar lama-kelamaan menjadi barang langka terutama bagi mereka
yang tinggal dan beraktivitas di perkotaan. Bisa jadi kegiatan di luar kita
hanyalah ketika sedang menunggu jemputan, entah itu kendaraan pribadi ataupun
kendaraan umum. Selebihnya, di dalam ruangan ditemani dinginnya AC.
Saat matahari bersinar terik, kita mengeluh panas yang
menimbulkan peluh. Padahal keringat adalah proses ekresi alami. Pengeluaran
zat-zat racun. Tapi kita tak suka.
Saat cahaya surya begitu terang, kita menutup gorden jendela
dan menyalakan lampu di dalam ruangan. Ini suka bikin saya bingung.
tengok teriknya di Kalibata City. Blue Sky
Padahal ketika matahari sedang tajam-tajamnya, coba
tengoklah ke atas. Ke langit. Maka akan ditemukan langit yang paling biru
dengan gumpalan-gumpalan awan super putih. Indahnya.
Namun, kita sering lupa. Gedung-gedung tinggi dan gadget
senantiasa menarik arah wajah kita ke bawah hingga lupa menatap langit. Kita
lupa bahwa sebelum segala kecanggihan itu ada, alam memberikan begitu banyak
bagi kita. Sekarang pun masih, tetapi sering disia-siakan.
Tragedi di Sumatra dan Kalimantan menyentil sanubari banyak
orang. Betapa mereka merindukan bisa menatap matahari terbit dan tenggelam.
Rindu birunya langit. Rindu bisa menarik napas sedalam-dalamnya dan merasakan
paru-paru melonggarkan diri. Sungguh, tak habis doa untuk mereka yang terjebak
asap, semoga mereka segera bisa merayakan sebuah kebebasan. Kebebasan merayakan
alam.
salah satu saat terbaik merayakan alam adalah main hujan ^^
Berpiknik adalah salah satu bentuk merayakan alam. Beberapa
waktu lalu, saat fenomena supermoon, Purwakarta mengajak masyarakatnya untuk
mematikan listrik dan bermain di luar. Menikmati sinar alami dari bulan. Kilau
lampu-lampu di ibukota memang menawan, tapi akhirnya menghalangi sinar rembulan
dan deretan bintang-bintang pun hanya terhitung jari.
Itulah mengapa ketika hendak merencanakan playdate dengan
tetangga di Kalibata City, kami merasa antusias ketika usul Kebun Raya Bogor
muncul. Jarak pandang luas dan area bebas berlari sejauh mata memandang menjadi
keinginan terpendam para ibu-ibu.
Berangkat Sabtu pagi jam 8 rupanya masih terlalu awal bagi
anak-anak sehingga salah satu anak saya
(waktu itu baru punya dua anak) muntah-muntah karena masuk angin. Walaupun
sudah menyiapkan baju yang biseksual alias bisa dipakai anak cewe atau anak
cowo, tetapi karena begitu sering muntahnya, akhirnya si cah lanang terpaksa
pakai kaos dengan sedikit nuasa cewe.
Walau sudah berangkat sepagi itu, kena macet juga begitu
memasuki Bogor. Sepertinya penduduk Jakarta satu ide dengan kami. Siang mulai
mendekat, dan perut mulai lapar.
Akhirnya tiba juga di TKP dan memarkirkan mobil di dalam
(hari Sabtu, mobil boleh masuk), benar saja, yang muntah tiba-tiba lupa laranya
di dalam mobil. Walau tidak ada wahana bermain anak, tetapi hamparan rumput
luas menjadi kebebasan tersendiri bagi anak-anak. Benar-benar yang mereka
kerjakan hanya berlari-lari, berguling-gulingan di rumput, saya yang lihat saja
jadi capek. Seperti berada di toko buku dengan begitu banyak buku, anak-anak
pun terpesona melihat ada begitu banyak pohon seperti hutan-hutan yang mereka
lihat di film kartun. Si sulung saya malah merasakan nikmatnya naik pohon. Akhirnya
hasrat manjat-manjatnya tersalurkan di sini ^^’ Sayang, saya tidak sempat
berkeliling untuk menunjukkan bunga Raflesia dan deretan kelelawar yang
biasanya bergelantungan di pohon-pohon tinggi.
karena sehari tidak akan cukup untuk menikmati Bogor
Setelah hampir tiga jam berlarian ke sana ke mari, kami pun
keluar Kebun Raya Bogor karena ingin memberi makan rusa-rusa dari luar pagar
Istana Bogor. Dan lagipula, biasanya saat jelang sore, Bogor akan turun hujan.
Anak-anak yang tadinya agak kecewa karena harus menuntaskan
mainnya, jadi gembira lagi. Si penjual wortel juga senang karena kami bolak
balik membeli wortel untuk para rusa. Setelah entah berapa banyak wortel
diberikan pada rusa dari yang besar hingga yang kecil, yang dekat hingga yang
jauh, kami pun berniat pulang. Mampir sebentar membeli asinan Bogor dan ketika
kami masuk mobil, DASSS .. hujan turun selebat-lebatnya. Alhamdulillah.... Sungguh
ada banyak sekali rasa alam yang kami nikmati hari itu.
Saya ingin liburan lagi ke Bogor, kembali lagi ke Kebun
Raya, dan berkeliling lebih lama bersama keluarga. Menyusuri setiap sudutnya.
Dan menemukan diri berada di tengah-tengah rontokan kapas yang akan membawa
imajinasi ke negeri es.
Ingin datang lagi ke Bogor ketika Istana Bogor terbuka untuk
umum dan membawa mama saya yang menurut kisahnya pernah melakukan demo berjalan
kaki dari Jakarta dan melakukan aksi mencoret-coret Istana Bogor pada zaman
Soekarno sebagai bentuk protes.
Tak hanya ke Kebun Raya Bogor, saya juga ingin mampir ke
salah satu taman tertua di Bogor. Taman Topi. Taman yang setiap akhir pekan
tertentu ada aktivitas mendongeng. Salah satu pendongeng tetapnya adalah kawan
saya di kampus, Kak Aio. Sudah lama kami tak bersua setelah terakhir kali
sempat bersama-sama dalam komunitas pendongeng. Masa-masa itu, masa ketika
anak-anak dari berbagai penjuru datang untuk duduk dalam lingkaran yang sama,
mendengarkan cerita yang seolah berasal dari negeri ajaib, masa ketika bermain
itu tak perlu rumit.
Begitu juga dengan berpiknik. Berpiknik itu penting tetapi
juga sederhana dan begitu hangat. Jadi,
jika di daerahmu bebas asap, keluarlah. Jika jarak pandangmu masih bisa
berpuluh-puluh meter, keluarlah. Jika kau masih bisa menatap birunya langit,
keluarlah. Berpikniklah bersama orang-orang tercinta. Keluarkan makanan dari
dalam dapurmu. Rayakan alam. Bersyukur. Dan hematkan uang Anda agar bisa
menyumbang oksigen bagi mereka yang terkepung asap. #saveSumatra
#saveKalimantan
memang kadang kita manusia masih menjadi makhluk yang kurang bersyukur ...
BalasHapusMudah2an hanya krn lupa, mak ^^
HapusSeru. Terimakasih partisipasinya. Maaf. pengumuman diundur tgl 20 okt ya.
BalasHapusSeru. Terimakasih partisipasinya. Maaf. pengumuman diundur tgl 20 okt ya.
BalasHapus