Oke, setelah membicarakan kisah PPDB dua tahun lalu ketika
hendak memasukkan si anak sulung ke SMP, sekarang saatnya giliran anak kedua.
Berbeda dengan si sulung, anak kedua ini setelannya berbeda.
Kami semua sepakat bahwa dia memang berbakat di matematika meski gayanya random
cenderung absurd. Saya sudah pantau nilainya dari kelas 4. Persis seperti yang
saya wanti-wanti pada si sulung, di atas 90 dan sepuluh besar di kelasnya.
Ketika nilai semester pertama di kelas 6 keluar, saya sudah dapat nilai
rata-rata rapornya. 95,2 dan 10 besar. Oh, aman. Pikir saya waktu itu.
Saya sudah buat beberapa nominasi. Mau yang sifatnya
ambisius atau yang aman. Beberapa skenario juga dirancang. Untuk anak yang satu
ini memang sengaja tidak diarahkan ke MTS, karena dia termasuk yang fokusnya ga
sebanyak kakaknya. Dan melihat kakaknya cukup struggle di bahasa Arab, saya
pikir lebih baik si anak laki satu-satunya ini mending fokus di SMPN saja.
Kalaupun dia mau belajar yang lain-lain bisa baca buku pelajaran kakaknya. No
pressure pressure lah intinya.
Tapi begitu peringkat sidaniranya keluar … jeeeng … 21. Wah
ini sih kena potong dua kali. Rupanya di SD nya nilai tertingginya 98 dan
kemudian yang berderet di bawahnya ya bisa jadi hanya bersaing di belakang
koma. Makanya untuk nilai 95 kenanya di peringkat 21.
Kalau di sekolah kalian nilai 95 masuk rangking berapa?
Dan buyarlah semua nominasi SMP yang sudah saya kumpulkan. Belum
lagi, wali kelasnya mengkonfirmasi kalau predikat dia juara 1 di wilayah
Jakarta Selatan di ajang Literasi dan Numerasi itu tidak bisa masuk ke kurasi
prestasi. Benar-benar mengandalkan nilai saja kalau begini.
Saya mengira-ngira Nilai AKhirnya akan berada di nilai 60an.
Oke, baik. Searching lagi, kumpulkan 3 nominasi dan nominasi lain sebagai plan
B. Saya cari berdasarkan jalur angkutan sampai ke arah Blok M dan ke Jakarta
Timur lagi alias ke Condet. Pas buat list baru ini, saya mulai nervous karena
si nilai akhir ini meski saya diberi link untuk menghitung tetapi entah kenapa tidak
bisa saya gunakan. Jadi semuanya serba gamang.
Saatnya membuat akun PPDB dan di situlah saya mengetahui nilai
akhirnya jadi … 55,5.
Ini ribetnya PPDB, formula penilaiannya sungguh punya
terlalu banyak aspek sehingga ketika merujuk data sebelumnya jadi tidak bisa
dijadikan pegangan karena suka masih ada error-error. Dan kalau meleset,
efeknya itu 4 dimensi. Ada kawan yang bilang, jangan pasang target
tinggi-tinggi makanya. Man, kalaupun memang ketinggian harusnya di bagian yang
aman itu bisa diterima. Kan saya bikin beberapa lapis rencana tapi semuanya
buyar. Berarti kan ibaratnya nilainya bukan sekadar dikurangi tetapi diakarkuadratkan.
Jadi keciiil banget.
Panik mode on. Karena dari hasil mendata itu, nilai
terendahnya rata-rata di 60. Gawat, terancam tidak ada yang masuk ini. Ketika
sedang panik begini, jadi ingat si MTSN. Eh sudah tidak bisa daftar akun lagi.
Ingat ya gaes, daftar akun PPDB di MTSN itu ada jangka waktunya, beda dengan
PPDB SMPN. Seketika saya langsung merasa, did I do something wrong. Did I
just push my son to wrong path. Macam-macam lah. Sampai saya kesal sendiri
karena merasa sistem PPDB ini benar-benar bikin stress orangtua, apalagi kalau
orangtuanya milenial. We were struggle when we were kids, learned my a** off
just to get the best point, now we have to endure the same stress when we
become parents?
Daftar SMP belum saya ubah, karena yah seperti masih
berharap gitu lah. Saya lihat dari jalur prestasi non akademis harusnya masih
ada kemungkinan. Dari datanya cukup banyak SMP di sekitar yang mayoritas nilai
akhirnya di 30an. Memangnya bisa kalau tidak ada prestasi non akademis tapi
mendaftar ke situ? Bisa. Intinya di nilai akhirnya cukup atau tidak.
Tibalah harinya. Hari pertama PPDB itu adalah momen pengembalian
murid dari guru ke orangtua murid. Sudah pasti tidak bisa memantau dari pagi
dan seperti biasa servernya sempat ngadat. Begitu acara selesai dan menjelang sore,
saya cek lah kondisi medan pertempuran. Saya mau sumpah serapah pun jadi tak
bisa. Semua SMP yang tadinya masih ada peluang di non akademis tiba-tiba
nilainya di atas 60. I was like … gimana sih, rasanya kaya pupus harapan gitu
loh.
Melihat saya panik mencari sekolah, si sulung berkomentar, “Lah,
sama aja dong dia sama aku. Susah-susah juga cari sekolahnya.”
Mendengar dia berkomentar begitu, saya jadi curiga apa dia
merasa bagaimana gitu dengan komentar saya tahun lalu (lihat postingan PPDB
sebelum ini: Kenapa MTS?). Mental suka menyalahkan diri saya kumat lagi dan itu
benar-benar bikin level stress menanjak tajam.
Ya sudah, setelah pura-pura menenangkan diri akhirnya bikin
list SMP baru. Kali ini sudah dalam titik ya sudah pokoke harus negeri. Kenapa
ngoyo banget? Melihat bapake yang senewen berhari-hari dengan situasi anaknya
kemungkinan masuk swasta, lalu sibuk menyalahkan kegiatan leyeh-leyeh anaknya
di hari libur, saya tahu itu artinya doi tidak punya dana untuk menyekolahkan
ke swasta. So, harus dapatlah! Itu misi saya.
The show must go on, mau gue stress atau ga.
Saya buka google dan mulai menulis “SMP Negeri di Jakarta
Selatan“ atau “SMP Negeri di Jakarta Timur” Karena itu yang paling bisa
dijangkau dengan kendaraan umum. Saya catat semua SMP yang muncul lalu lihat
rute jalannya, pantau durasi dan berapa banyak harus transit dan jalan kakinya.
Setelah itu, saya lihat perolehan nilai di web PPDB.
Kuota jalur prestasi itu apalagi yang non akademis sangat
sedikit. Jadi sering sekali dari semua list yang tersedia, posisinya selalu 3-5
dari posisi buncit. Setelah semalaman mencari, keesokan harinya saya mulailah
memasukkan pilihan: SMP 15, SMP 46, dan SMP 209.
Posisi di SMP 15 pada pukul 8 adalah 10/12. Di sini saya
baru ngeh kalau nilai akhir non akademis dan akademis itu berbeda. Jadi nilai
si anak laki ini jadi tinggal 37,5 kalau di non akademis. Makin stress ga tuh …
Lalu pada pukul 10 peringkat turun jadi 12/12.
Pukul 12 terdepak.
Langsung lanjut ke SMP 46, posisi 5/7. Posisi ini lumayan
awet sampai malam. Hari ketiga, beda lagi ceritanya.
Pukul 9 pagi, sudah terdepak dari SMP 46. Lanjut ke SMP 209
posisi 12/14. Saya sempat cek lagi pukul 11.30 karena kebetulan ada teman yang
juga lagi PPDB SMA dan sepagian tadi dia update perihal orang-orang yang baru
masukin nama anaknya sehingga mulai terjadi pergerakan yang signifikan meski
proses seleksi akan berakhir beberapa jam lagi. Saya lihat, posisinya belum
berubah. Oke, mari ishoma dulu.
Selesai ishoma, pukul 12.45. Resmi terdepak di tiga sekolah.
Waktu tinggal 75 menit lagi, entah bagaimana saya merasa
harus cari lebih detail lagi. Lagi-lagi saya buka google dan saya ketik “SMP Negeri
di … “ Saya runut per wilayah yang masih masuk akal jangkauannya. Pancoran, Pasar
Minggu, Jagakarsa, Lenteng Agung, Condet, Kramat, Blok M, Setiabudi … Meski
masih menemukan beberapa nama sekolah yang tidak saya temukan sebelumnya, tetap
saja ada banyak sekali sekolah yang harus saya coret karena sudah tidak
tersedia kuotanya. Tersisa satu, SMPN 247. Posisinya masih bisa 4 kursi lagi
untuk nilai di bawah anak saya. Pukul 13.00 saya mendaftar lagi dengan pilihan satu
sekolah itu. Eh kaget dong, karena ternyata posisinya jadi 9/10. Rupanya pada
saat yang bersamaan, ada tiga anak yang mendaftar ke sana-mungkin nasibnya sama
dengan saya-dan nilainya lebih tinggi.
Pukul 13.45 atau 15 menit menjelang pendaftaran jalur
prestasi ditutup, saya memutuskan tutup laptop. Yah kalau terdepak juga pun sudah
tidak ada opsi yang lain lagi.
Setengah jam kemudian, wali kelasnya chat wa saya berisi: Selamat
ya sudah aman posisinya di SMPN 247.
Saya bahkan sudah tidak ada energi untuk lega. The power of didepak-depak
itu ngefek banget ke saya. Saya lalu membuka screenshot daftar murid yang dikirim
oleh walas. Tahu anak saya di posisi berapa? 10/10. Di 15 menit terakhir bisa-bisanya
ada satu orang yang menggeser. Duh semoga yang terdepak sudah mendapatkan tempat
yang lebih baik. Dan yang lebih menyebalkannya adalah, ketika seminggu kemudian
saya lihat lagi daftar murid yang telah diterima, rupanya ada satu orang yang
tidak melakukan lapor diri. Lah lo buat apa daftaaaaaaar!!! Bikin kesel aja.
But anyway, semoga mereka memang punya alasan yang kuatlah. Soalnya suka sebel
sama orang yang sudah ambil kuota eh tidak diambil karena mau coba yang
lain-kan sayang itu bisa jadi jatah orang lain. Yah walau kalau di PPDB, yang
tidak lapor diri kuotanya jadi digunakan untuk jalur tahap akhir. Cuma tetap
saja kesal lihatnya. Jangan dibiasain lah kaya begitu. Ada orang yang
jumpalitan buat dapat sekolah negeri oooy …
Kenapa kemudian tidak bisa lega-lega banget? Karena yang
menjadi tugas selanjutnya adalah bagaimana caranya supaya tidak terjadi hal
serupa di PPDB SMA. Les, eskul, lomba … oh my God apakah aku kini menjadi
ibu-ibu ambis? Awalnya saya lihat orang lain ya kelihatannya begitu, tapi
begitu kena dua kali PPDB SMP, jangan-jangan kalau ortu ga ambis, ya lo kelibas
… ah damn.
Yang menarik adalah, ada orang-orang yang meng-aknowledge
pergerakan saya di dunia PPDB dan memuji, kata mereka saya niat banget cari
sekolah. Ya gimana, kantong kering mencekik dan jelas tidak ada peluang di
zonasi pun di tahap akhir. Sungguh disayangkan memang banyak orangtua yang
memilih tidak segitu berjibakunya karena tidak mengerti atau merasa terlalu
rumit, sehingga ada yang menyerah atau menyuruh orang. Bahkan untuk metode bisa
daftar lagi setelah terdepak di 3 pilihan saja, juga masih banyak yang tidak
tahu- termasuk bapake kawanan dino. Ya karena se-tricky itu.
Ini tuh Jakarta, kebayang kan kalau di daerah?
Tahun depan saya akan kembali ke PPDB dan rasanya kepala
makin cenat-cenut. Saya memberikan catatan tambahan untuk si sulung. Ini
semester terakhir kamu, pe er masih banyak. Yang sabar ya … yuk kerja keras.