Lagi-lagi tulisan terkait kasus Sitok Srengenge. Berhubung pelakunya seniman tulis, jadilah banyak tulisan tentang kasus ini. Sebenarnya sudah lama mau ikutan nulis, tapi tertunda terus. Minggu ini mulai hangat lagi, semacam desakan untuk segera memenjarakan Sitok Srengenge dan mengubah tuntutannya menjadi pemerkosaan alih-alih perbuatan tidak menyenangkan.
Perbuatan tidak menyenangkan? Cuih, apa tuh? Kalau gue tuntut suami atas dakwaan perbuatan tidak menyenangkan karena menaruh benih tanpa kesepakatan yang menyebabkan kehamilan pada istri sendiri, nah itu baru betul.
Pemerkosaan sering harus dibarengi dengan visum selaput dara sobek. Lha, kalau janda, piye? Kalau bukan janda? Ah berarti lo nya aja yang bitchy, begitu? Tabok aja dah.
Belum lagi komentar orang, "dah hamil berarti menikmati dooong." lha kata siapa proses kehamilan ada hubungannya sama kenikmatan? Itu cuma masalah sperma sampai ke indung telur dengan selamat. Dan itu ga pakai otot sadar, lo pikir main football management? Suka esmosi deh lihat komennya, tapi buru-buru tarik napas, karena banyak dari mereka dibutakan oleh anggapan patrialis ini.
Ada banyak link bertebaran soal hal ini. Saya sendiri jadi cenderung hati-hati. Awal kasus ini terkuak, saya adalah salah satu yang ketawa-ketiwi mengomentari hal ini. "servisnya ga memuaskan kali, makanya nuntut." atau "dikiranya anak sastra pasti mau-mau aja, ternyata ada yang ga mau. Salah target dia." hal semacam itulah. Lalu kemudian saya membaca pernyataan salah satu senior saya yang notabene laki-laki dan kemudian membaca soal kondisi si korban, saya jadi menahan diri. God, ternyata banyak pernyataan saya yang justru tidak ramah korban. Padahal ngakunya korban pelecehan seksual dini =/.
Lalu kemudian ada beberapa komentar yang keluar bahwa jika pemerkosaan kenapa juga si korban masih mendatangi Sitok? Sampai hamil lagi. Dan dari situ barulah saya mengingat kembali status saya sebagai korban pelecehan seksual. Untuk masalah ini, bahkan di luar negeri pun masih tidak sensitif. Oprah bahkan harus kampanye khusus akan hal itu. Mengapa? Karena ada jerat di dalam kasus pelecehan dan pemerkosaan. Dan itu tidak hanya bisa terjadi pada anak-anak tetapi juga orang dewasa yang katanya sudah punya pemikiran sendiri.
Coba deh, ada berapa kasus KDRT yang tidak dilaporkan? Buanyaaak. Pernikahan bertahan bertahun-tahun dan masih nambah anak pula. Dan yang termudah bagj masyarakat adalah ... Menyalahkan wanitanya. Menyalahkan korbannya. Dan sedihnya tudingan ini bahkan diucapkan juga oleh kaum wanita. "salah sendiri, lo kok mau aja dipukulin?" "Lo diperkosa? Pulangnya malem sih." bah, kalau gitu sekalian aja pasang plang, WANITA DILARANG MELINTAS SETELAH PUKUL 8 MALAM. KALAU TIDAK, DIPERKOSA.
Jerat semacam ini seringkali hanya bisa dipahami oleh sesama korban. Kenapa saya bilang jerat? Karena walau saya ingin sekali menghampiri kerabat saya yang adalah pelaku pelecehan seksual terhadap saya dan bilang, "Fuck you!" Saya justru menghampiri mereka dengan senyum dan bahkan cipika cipiki. Can you explain that? Saya juga ga bisa. Maka dari itu, jika ada seorang wanita yang kemudian mengambil langkah hukum, sejatinya dia sudah melewati halangan psikologis yang sangat besar. Makanya, dukungan itu penting
.
Kenapa ga mau dinikahi? Coba ya, baca ketentuan pilih suami. Dari agamanya. Bukan dari apakah dia sudah 'bolongin'. Banyak yang berpikir, jika mau dinikahi maka urusan sejatinya selesai. Well, bukan selesai lebih tepatnya melainkan tertutupi dan kemudian menjadi urusan keluarga. Suami perkosa istri? Urusan keluarga. KDRT? Urusan keluarga. Saya kemudian membaca kasus perkosaan bocah di Malaysia. Karena salah satu pihak pelaku terus mendatangi keluarga korban, mendesak untuk menikahkan anaknya, akhirnya jadilah bocah itu menikah dengan pemerkosanya sendiri. Hasil akhir, bocah itu mengalami penyiksaan oleh keluarga mertuanya. Sudah digigit harimau, dimasukin lagi ke kandang yang berisi lebih banyak harimau. Apa yang bisa diharapkan dari seseorang bermental pemerkosa?
Lalu ada yang mengaitkan dengan komunitas Salihara pimpinan Ayu Utami yang sejatinya disebut feminis. Wait, who? Ayu Utami? Bukankah dia bukan penganut pernikahan? Itu yang saya baca di majalah ketika dia memutuskan tinggal bersama kekasihnya. Dengan kata lain, menghalalkan seks asal MAU SAMA MAU. Seperti yang terjadi di mana-mana.
Mau sama mau. Lama-lama saya sebal dengan kata-kata ini.
Feminisme ala Ayu Utami berbeda dengan Saras Dewi. sepanjang ketidaktahuan saya, feminisme Ayu Utami adalah feminisme ala Madonna. (CMIIW yak, jangan jadi alih isu). Ketika wanita lebih berani bicara seks.
Jika menonton Carrie Diaries, isu Madonna ini sangat diangkat. Masa itu adalah masa wanita saat one night stand bisa sama posisinya dengan lelaki. Saya berkuasa akan vagina saya, jadi saya bisa pilih lelaki yang saya suka
.
Dan jika ditelaah lebih dalam, inilah akibat pemerkosaan derajat perempuan oleh laki-laki sejak ratusan tahun lalu. Salah kaprah soal seks. Siapa yang berkuasa akan seks, dialah yang hebat. Oleh karena laki-laki menganggap seks sebagai simbol kejantanan dan karena itu dia berkuasa atas banyak hal termasuk wanita, lalu kemudian terpaksalah muncul perempuan yang berpikir seperti itu demi mendapatkan tempat di dunia. Dan itulah yang disebut pemerkosaan pikiran.
Mungkin ada yang mau membedakan diri dengan menyebut dirinya hanya memberikan seks pada orang yang dicinta. Well to me, tidak akan ada murninya cinta jika belum akad nikah. Dan pastikan nikahnya karena Tuhan, bukan yang lain.
Sebelum saya menikah, dengan beragam pervert menghampiri entah dengan status pacar atau tidak, saya sampai pada pemikiran these men are just treating me like bitch. Saya tidak peduli mereka bilang cinta, karena sebelum menikah kata cinta itu hanya omong kosong. And I let them do that, because I consider myself as a bitch. Because I wasn't the pure one. Dan ada berapa perempuan yang berpikir seperti saya? Banyak. Siapa yang bisa menolong? Hmm ...
Bagi kaum wanita yang memberikan seks sebagai tanda cinta, tanda kuasa, tanda modernitas, tanda apa pun tetapi tidak diawali dengan tanda tangan surat nikah, maka sejatinya Anda adalah korban pemerkosaan. Jangan bangga dengan hal itu. Kenapa? Karena Anda telah memudahkan seorang pria masuk ke lahan yang hanya akan menjadi objek. Tidak pernah menjadi subjek. Mirip kelakuannya sama penyogok proyek. Kasih izin bikin proyek ga ramah lingkunga. Uang sogokan habis, lahan sudah rusak. Siapa yang selaput daranya sobek? Siapa yang hamil? Siapa yang harus aborsi, keguguran, melahirkan? Dan lagi, di antara laki-laki dan perempuan, siapa yang lebih cepat puas? Tips yang beredar lebih banyak soal memuaskan perempuan bukan laki-laki. Kita cuma berbaik hati pada kalian, terlalu baik hati malah.
Tuhan sudah kasih alurnya. Ga usah diubah-ubah. Wong ikut alur saja bisa salah kok (bicara tentang pemerkosaan domestik).
Nah, sekarang gimana? Saya tidak peduli atas alasan apa perbuatan Sitok itu. Ketika dia sudah merayu perempuan lain tanpa izin istrinya hingga bahkan melakukan hubungan intim sebelum menikah, maka MAU TIDAK MAU Sitok harus ditangkap atas pemerkosaan. Bahkan kalau perlu atas pemerkosaan terhadap istrinya yang seharusnya tidak mau hal ini terjadi.
memang ya mba, dalam banyak kasus pemerkosaan pihak perempuanlah yg banyak dirugikan, dipojokkan dan disalahkan.. :'(
BalasHapus