Kata kerja 'pulang' dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti pergi ke rumah atau ke tempat asalnya. Atau bisa juga menggunakan kata 'kembali (ke)', atau 'balik (ke)'.
Dulu, saya bergantian menggunakan pilihan kata di atas ketika berpamitan dengan teman-teman saya. Menyudahi percakapan ringan yang menari-nari di udara menemani perjalananku pulang. Kata 'pulang' saya tujukan pada rumah orangtua saya di Tebet yang telah saya tinggali sejak usia empat tahun. Sejak saya TK, Sekolah Dasar, SMP, SMU, hingga kuliah dan kemudian bekerja, saya selalu pulang ke Tebet. 'Pulang' bagi saya adalah kembali ke kamar saya. Istana imajinasi saya.
Hingga kemudian saya segera menyetujui usulan petinggi kantor untuk dipindahkan ke lini penerbit lain yang bermarkas di Bandung. Waktu itu saya berumur 25 tahun. Tidak pernah melakukan perjalanan dinas lebih jauh dari Bandung. Hanya satu kali travel ke luar kota dalam rangka liburan bersama teman. Apalagi nge-kost.
Sebuah kondisi yang agak ironi mengingat kedua orangtua saya menghabiskan belasan tahun merantau di negeri orang. Sedangkan anak-anaknya baru keluar rumah induk setelah menikah, kecuali saya.
Toh, keberanian ini juga muncul bukan tanpa alasan. Saat itu saya patah hati. Dan berada di Jakarta sama dengan berada di dekat dengan sumber patah hati. Saatnya menutup buku. Berharap memulai lagi dari halaman nol di buku yang kosong.
Lalu pergilah saya ke daerah yang menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa ibunya. Hal yang membuat saya serasa pemeran Lost in Translation. Di Bandung, saya merasa seperti berada di Jakarta versi mobile. Ketika satu acara bisa dihadiri oleh sebagian besar warga Bandung. Tidak seperti Jakarta. Sepenuh apa pun tempat acara berlangsung, itu hanya sebagian kecil. Acara besar berdampingan dengan acara kecil, tentukan sendiri komunitasmu. Ya, di Bandung saya bisa mendaftarkan diri dalam komunitas tertentu dengan mudah. Tidak ada sela-sela hampa nan lelah. Bandung memang kotanya anak muda, tempat jiwa kreatif meluap dengan gembira. Dan usai mengekspresikan jiwa lepas itu, di malam hari saya beralih ke kamar kos saya yang berada di pinggir kota Bandung. Tempat bintang bersinar lebih terang, terlihat lebih ramai. Kelipnya seolah mengikuti nada gemerisik padi yang melambai berat juga gemulai. Membelai kuping saya dengan nyanyian Neverland. Membuat saya terbuai dan mimpi indah.
"Mau balik dulu ke Bandung," ujar saya saat mencium tangan orangtua. Rasanya seperti berkhianat. Meruntuhkan pujian akan sebuah rumah dengan menggunakan kata "balik" untuk sebuah kamar sewaan kecil. Namun, toh mungkin memang sudah takdirnya, karena ketika saya bertolak ke Bandung kamar saya ditempati oleh sepupu sebaya saya yang tengah menjalani kemoterapi untuk kedua kalinya. Dia, kakaknya, dan ibunya. Mengungsi dari tempat tinggalnya di Bekasi agar lebih dekat dengan lokasi pengobatan.
Sepupu saya menjadi alasan saya tidak larut dalam patah hati ketika kembali ke Jakarta. Dia menikmati setiap cerita saya sebagai 'turis' di Bandung. Dia pun sejatinya masih mengurus skripsi di Semarang. Tawanya baru terdengar jika saya ada. Seolah menertawakan keudikan kami sebagai warga kota padat penduduk.
Tidak seperti dua kakak saya yang bertolak ke Inggris dan Australia lalu menetap di sana selama bertahun-tahun, saya hanya perlu tujuh bulan untuk kembali ke Tebet. Kali ini, kepulangan saya terasa berbeda. Bukan. Bukan dari barang bawaannya. Bukan dari sumber patah hati yang sudah menghilang. Melainkan melihat kamar saya yang kosong. Ya, sepupu saya telah berpulang ke pelukan pencipta-Nya. Sang agen travel akhirat, malaikat Jibril, telah mengantarkannya ke rumah sejati. Pulang ke tempat jiwa-jiwa suci berada. Amin.
Ketika saya kembali membuat cerita baru di Jakarta, sepupu saya tak perlu lagi terkatung-katung dalam titik tertentu. Pun dia tak perlu lagi kembali ke titik nol, karena dia sudah mencapai tanda tak hingga. Selamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar