Kalimat yang sangat ditegaskan saat awal mendaftar sebagai
relawan Kelas Inspirasi Jakarta #3 adalah, “Bersedia cuti pada tanggal 23 April
2014”. Tanggalnya sendiri berubah menjadi 24 April karena sebagai sekolah masih
mengadakan try out. Dalam hati saya berkata, lah kalau saya minta cuti ke
siapa?
Menjadi ibu rumah tangga yang kadang-kadang dapat duit dari
hasil utak utik kompor atau laptop, istilah teknis seperti “cuti” kayanya
memang asing. Dan mau tidak mau, hanya suami yang bisa saya anggap sebagai “bos”
untuk urusan cuti ini.
Saya sengaja tidak banyak cerita tentang Kelas Inspirasi.
Bahkan saat izin untuk ikut briefing-nya saja, saya hanya berkata sekilas.
Sebenarnya saya menghindari perkataan, “kenapa ga nanti-nanti saja sih?” Saya
dan suami memang memiliki perbedaan definisi perihal penempatan waktu.
Jadi, ketika seminggu sebelum hari H, dia mengkonfirmasi
akan ke luar kota dari 20-24 April, saya diam-diam saja. Awalnya, saya hendak
mendelegasikan suami yang mengantar anak-anak ke daycare saat saya bertugas. Supaya
saya bisa datang lebih pagi, dan kemudian meminta izin pulang lebih cepat. Tapi,
kalau dia baru pulang tanggal 24, ya sudah pasti saya tidak bisa berangkat
pagi. Syukurlah keadaan ini dimaklumi sama rekan-rekan relawan KI.
Sejak beberapa hari sebelumnya, saya sudah bicarakan pada
Malika bahwa akan ada satu hari di mana dia akan menunggu di sekolah bersama
adiknya. Dia sih tidak keberatan. Tapi ga tahu ya. Saya menghindari drama
bangun tidur sebenarnya. Sesuatu yang bisa bikin jadwal molor beberapa jam. I
guess, itulah definisi Amy cuti. Cuti dari drama. Hehehehe ...
Semuanya santai-santai saja hingga waktu tidur. Saya sudah
kondisikan tidur siang yang tidak terlalu sore agar bisa berangkat tidur jam 9.
Eh, bocah-bocah itu malah melek sampai jam 11 malam. Saya sendiri sudah menyepi
di kamar lain untuk menyiapkan prakarya sejak jam 9. Si bocah-bocah cakidut itu
sibuk becanda cekakak cekikik. Amy yang tadinya berusaha konsentrasi berpikir
positif, lama-lama senewen juga. Begitu jarum jam mencapai angka 11, saya
marah-marah juga. Dan mereka tidur seketika.
Saya hanya bisa berdecak. Tidur jam segini mau bangun jam
berapa, neng?
Yah, saya anggap rezeki lah. Pagi-pagi bisa mandi dengan
tenang. Menyiapkan yang perlu dibawa anak-anak, yang perlu saya bawa, jadi
nanti tinggal angkut usai mengantar anak ke daycare. Dan Malika baru bangun jam
7an. Melihat saya sudah berganti baju. Awalnya lupa. Tapi kemudian dia yang
menyuruh saya bergegas. Safir masih tidur saat saya angkat ke stroller. Pakai
stroller karena mereka pasti masih malas jalan. Lumayan, 15 menit jaraknya.
Awalnya mereka sih happy-happy saja ke sekolah. Safir pikir
kita sedang mengantar kakaknya. Eh ternyata dia ditinggal juga. Nangislah dia. Hehehe
Safir memang tidak saya briefing. Begitu melihat Safir mengejar ke arah pintu,
saya bergegas ambil langkah seribu. Kabuuuur.
Jadwalnya setengah hari di daycare, tapi belakangan saya
jadikan full karena jam 12 kami masih belum rampung. Sampai di Kalibata nyaris
jam 3, saya juga shalat dulu, sedikit beberes, baru kemudian ke daycare. Maunya
sih tidur-tiduran dulu, tapi kepikiran si Safir yang pasti sebentar-sebentar
nangis. Apalagi jam tidur begini. Malika sih menurut laporan sangat kooperatif.
Eh benar saja. Lagi nangis dia. Biasa deh, Amy ditagih
kendi. Nyusu sebentar, dah happy lagi dia. Eh Malika yang jadi minta gendong melulu. Begitu
diajak pulang, Safirnya yang ga mau. Dia maunya nyusu di daycare. Lha... piye
iki.
So, jadilah drama si kakak digendong, si adik nangis-nangis
tarik-tarik kaki Amynya sepanjang perjalanan pulang yang lewat mal itu.
“Amy ga boleh kerja,” kata Safir setiba di rumah.
Saya sih cengar-cengir saja. Ga kerja, Cuma pengen
jalan-jalan aja kok. Kata saya dalam hati.
Okelah, kegiatan selanjutnya tunggu anak-anak masuk SD kali
yaaa. ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar