Zaman sekarang jika bicara soal pengiriman barang pasti deh langsung nyambungnya ke T***. Apa kabar tukang pos, ya? Saya bahkan masih menggunakan jasa pos untuk mengirim lamaran kerja sepuluh tahun lalu. Pas zamannya lagu "Surat Cintaku", kita biasanya sudah akrab dengan si pengirim pos. Namanya surat akan dikirim oleh petugas pos di area terdekat dengan alamat tuju, jadi wajarlah bisa kenal baik sama petugas pos. Orangnya itu-itu saja kok.
Berbeda dengan layanan antar. Mukanya ganti-ganti. Wong cabangnya banyak begitu. Dan kayanya sekarang ga ada stiker bertuliskan, "Trims Pak Kurir". Layanannya lebih dipilih tapi hubungannya ga seromantis dengan petugas pos. Film "Postman Pat" mungkin sudah ga nyambung sama anak zaman sekarang kali ya. Anak-anak di kota besar di Indonesia terutama.
Waktu kerja saya masih ada lah bersinggungan sama pos Indonesia. Yaitu saat-saat saya menanti buku review dari penerbit luar negeri. Satu hal yang saya kangeni bekerja di penerbitan. Orang luar negeri memang lebih mapan bidang posnya. Jadi kalau kiriman dari luar negeri, saya lebih memilih pos ketimbang jasa kurir, pasti aman. Lain halnya vice versa. Masih belum pede kirim ke luar negeri pakai pos, habis citranya kadung buruk.
Papa saya dulu juga bekerja di kantor pos di ... Belanda. Bukan sebagai petugas posnya, melainkan sebagai karyawan pos yang bertugas menyortir surat sesuai daerah tujuan. Kerjaannya buruh, tapi masih dikasih tunjangan flat tuh. Dan sekarang menikmati uang pensiun bulanan dari sana. Kalau petugas pos Indonesia bagaimana?
Oke kembali ke pos Indonesia. Sebulan ini saya akhirnya reuni sama pos berlogo orange ini. Apa pasal? Ikutan undian. Halah. Itu loh undian Indomilk pergi ke Legoland. Saya sih tahu 'tangannya bau' untuk urusan undian. Cuma berhasil waktu hamil Malika, ya dapat doorprize video cam, voucher tas bayi yang masih dipakai sampai sekarang, tiket nonton, dll. Seumur hidup, saya jarang beruntung untuk urusan beginian. Tapi karena toh barangnya emang diminum sama anak-anak ya saya iseng saja ikutan. Alasan lain adalah karena alamatnya PO BOX. mau ga mau harus ke kantor pos dong. Ide PO BOX ini mungkin jadi salah satu investasi yang paling berhasil buat Pos Indonesia. Telegram sudah punah, wesel rada sekarat kalau tidak ditopang dana pensiun, PO BOX yang rada gaya dikit. Walau ga sering, tapi masih ada saja undian yang mengharuskan mengirim kemasan. Hmmm ... Mungkin saja beberapa tahun mendatang PO BOX ini jadi ga efektif karena tergusur sama lomba selfie yang modal media sosial. Makanya saya makin semangat kumpulinnya. Setidaknya bisa jadi saksi sejarah pos (apa sih?).
Nah di Kalibata City ini cuma ada satu kantor pos. Gabung sama jasa travel. Tapi kalaupun ada orang yang ngantri di dalam sana, buat urus tiket. Sedangkan petugas posnya duduk kebosanan hehehe ... Saya sudah suudzon aja, bahwa penanganannya bakal jadul. Kira-kira harus beli perangko yang harga berapa ya? Lumayan bisa kasih tahu ke Malika n Safir soal perangko. Eh, rupanya sekarang modelnya kaya T*** gitu. Diketik, di print. Jadi kita punya notanya. Dulu kan suka ga mau pakai pos karena tidak bisa dipertanggungjawabkan. Petugasnya sendiri bilang, perangko kian sulit dicari. Wuih, mulai langka. Inget gak sih, zaman dulu di koran selalu ada update seri perangko? Jadi mungkin sekarang posnya hanya perlu cap seharga Rp5000,-. Mungkin ga diplastikin seperti T***, makanya saya sudah tulis dengan bolpen, biar ga luntur. Maklum, undian sih, setidaknya harus benar-benar sampai ke tujuan. Dan ... Menang ... Amiin.
Hmm ... Kira-kira mau kirim apalagi ya via pos?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar