Sekarang mau rajin share hasil kerjaan atas nama Readie ah. Yang paling gres diterima di rumah mama adalah buku Her Beautiful Eyes karangan Rien Dj.
Buku ini masuk sepuluh besar dalam lomba penulisan yang diadakan oleh qanita romance.
Buku ini berkisah tentang cinta segitiga antara dua orang difabel dan seorang lelaki normal.
Adalah Tiara yang menjadi tokoh utamanya. Seorang gadis yang ahli komputer tetapi 'apes' didatangi virus polio sejak kecil sehingga harus berlawan dengan sebuah tongkat penyangga. Bersama sahabatnya yang hanya bisa duduk di kursi roda, dia aktif di Komunitas Difabel Solo. Namun, hatinya bolak balik teringat atasannya. Lelaki bermata laguna dengam senyum secerah matahari. Dialah Hakam Cahyaningrat.
Sekilas seperti sebuah cerita yang mudah ditebak akhir ceritanya. Namun, bukan itu yang mau saya bahas. Kisah yang mudah ditebak ini, pada kenyataannya memiliki banyak faktor dramatis. Kenyataannya, orang mungkin masih mau berteman dengan mereka yang difabel tetapi lain ceritanya jika dijadikan pasangan hidup.
Mungkin ada yang ingat kisah seorang gadis difabel yang tidak memiliki kedua tangan tetapi kemudian wajah cantiknya terpajang bersama seorang lelaki tampan yang 'sempurna' dalam sebuah foto prawedding. Dilalah, lelaki itu adalah putra pejabat BI. Bak kisah cinderella.
Mungkin saja ada yang berkomentar, "Walau tidak punya tangan tapi kan mukanya cantik. Ya, ga bakal kesulitan lah." Tapi coba deh dipikir-pikir, wajah boleh cantik, tetapi ketika kita lagi di sebuah restoran mewah lalu si cantik ini mengangkat kakinya ke meja dan meraih sendok untuk kemudian menyuapi dirinya sendiri, ngaku deh, pasti rasanya janggal. Dan tatapan janggal itu melesat lebih cepat dari cahaya. Memberi sejuta arti bagi si objek yang ditatap.
Itu baru bicara soal pandangan dan anggapan orang 'normal'. Itu saja sudah mampu mengobrak-abrik kepercayaan diri seseorang. Belum lagi bicara soal fasilitas. Komunitas difabel sering kali menjadi kalangan 'reject' sehingga keberadaannya seakan ditunggu kadarluarsanya.
Seumur hidup saya, saya hanya mengenal tiga orang difabel yang kemudian tetap aktif menjalani kehidupannya. Namun itu bukan tanpa kerja keras. Lebih keras dari mereka yang 'lengkap'. Saya ingat teman saya bercerita tentang bapaknya yang juga terikat di kursi roda. Otot tangannya setelah sekian puluh tahun dipaksa bekerja ganda menggantikan fungsi kaki mengalami perkapuran lebih cepat. Dalam cerita ini saya mengetahui bahwa penderita polio sejatinya harus menjaga berat tubuhnya karena tidak banyak melakukan aktivitas dengan berdiri dan agar beban kerja tangannya tidak semakin berat.
Dari teman saya itu pula saya mengetahui soal modifikasi mobil yang disesuaikan dengan kebutuhan si bapak. Pastinya manual. Jangan harap mobil keren yang ada di drama Jepang Life is Beautiful, serba otomatis. Jangankan mobil, rumah pun disesuaikan, mulai dari lebar pintu, tata letak furnitur, hingga lebar lorong. Apa kabar dunia luar? Rasanya pasti gila banget.
Saya saja yang seorang pedestrian sejati, jarang bisa menikmati trotoar yang lapang, rata, dan bebas motor. Apalagi begitu punya dua anak dan berharap bisa sekadar jalan-jalan sambil dorong stroller tandem. Masih syukur tinggal di superblok, masih bisa lah hasrat itu terpenuhi. Tapi kalau mau ke mal sebelah, beuuh ... Begitu keluar sudah semrawut motor sana sini, lalu harus ketemu perlintasan kereta dan hadangan mobil wuih pokoke ribetlah. Jadi kalaupun mau ke mal sebelah di hari kerja ya artinya satu bocah digendong, yang satunya lagi digandeng.
Bicara soal fasilitas mal saja sepertinya baru mengalami perbaikan bukan karena kesadarannya akan komunitas difabel, melainkan karena arus modernitas yang menyebabkan banyak orangtua membawa stroller ke pusat perbelanjaan. Mal yang bagus akan menyediakan lift yang lapang di tempat mencolok. Bukan lift sempit seperti di Pasaraya Blok M. Bukan lift barang yang entah di belakang apa seperti di ITC Kuningan.
Saya jadi ingat saat kuliah juga ada salah satu mahasiswi yang menggunakan kursi roda. Gedung FIB hanya tiga lantai sehingga tidak menggunakan lift dan jadilah si mahasiswi menanti digendong teman-temannya saat harus mengikuti kuliah di lantai dua atau tiga. Dosennya pun mencari cara agar mata kuliah yang diikutinya tetap di lantai dasar. Namun mau sampai kapan dia harus menanti uluran tangan orang? Adakah yang tahu bahwa mungkin dirinya juga ingin naik sendiri. Menjadi orang yang harus selalu menunggu bantuan itu tidak menyenangkan. Dan sikap itu memang harus dipertahankan.
Suka kesel kalau menghadiri resepsi di gedung mewah tapi area lobinya tangga semua. Ga ada sisi landainya. Memang sih terlihat keren tapi kok mayoritas banget sih. Ini terasa banget saat ke Monas yang di mana-mana tangga. Waktu ke sana memang ga bawa stroller tapi pegel gendong bocah-bocahnya juga. Kalaupun bawa pasti kaya orang salah alamat gitu.
Bayangkan ada berapa banyak kesempatan komunitas difabel untuk beraksi di dunia luar yang kemudian terlindas oleh kepongahan mereka yang 'normal'?
Jadi singkatnya, mengedit naskah ini membuat saya teringat pada mereka-mereka itu. Mereka yang ternyata lebih mengoptimalkan yang ada dalam dirinya ketimbang saya. Mereka yang tidak menyerah pada keadaan. May God bless you always.
Jadi sebagai penutup, beli deh bukunya =) Ini bukan kisah cinta biasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar