Sejak mama cerita (iya, mama saya yang konon ga update
berita itu) bahwa ada sebuah bus wisata gratis yang bisa dinaiki di halte
Bundaran HI, saya sudah penasaran. Ga pernah terlalu tahu namanya, memang.
Namun ketika Malika mulai jadi ‘freelance’, ide untuk keliling Jakarta naik bus
wisata ini mengemuka. Hanya saja, waktunya tak pernah tepat.
Oleh karena niatnya untuk outdoor education trip buat
anak-anak, saya merasa hari yang paling tepat adalah di hari kerja. Tapiiiii
.... daerah HI, Thamrin dan teman-temannya itu kan macet yak. Maklumlah kawasan
bisnis. Sedangkan kalau akhir pekan, kok ya ga pede bilangnya ke suami :p.
Akhirnya niatan itu mundur terus. Hingga kemudian datanglah momen libur
lebaran.
Itu pun diingatkan oleh berita di salah satu portal. Usai
menghabiskan beberapa hari untuk bersilaturahmi, rasanya bagi kami yang di
Jakarta ini juga ingin liburan. Again, tapiiiiii .... seperti yang kami ketahui
pula, tujuan seperti Ragunan, Ancol, dan TMII pasti membludak. So, berita bus
city tour atau dijuluki Mpok Siti ini, mengingatkan saya tentang kondisi ideal
naik Mpok Siti. Mumpung jalanan Jakarta masih sepi. Eh ternyata di hari yang
sama, keponakan saya memposting foto naik Mpok Siti. Duh, serasa didului. Hei,
tungguin doooong.
Hery yang masih ragu dengan tata tertibnya pun menelepon
kakaknya. Dan kesannya adalah, “ngantrinya ya ampuuun”. Hmmm, ternyata jadi
inceran juga pas liburan begini. Yaaah, sepertinya akan menikmatinya di hari
kerja yang macet.
Lalu bel berbunyi di hari Selasa. Salah satu teman saya
bertanya soal halte city tour. Saya minta nimbrung saja. Apalagi kemarin, teman
saya ini baru memposting foto jalanan Jakarta yang masih sepi. Mungkin karena
anak sekolah baru masuk di hari Rabu. Inilah kesempatan saya. Now or never.
*lebay
Dan buru-burulah saya menyiapkan makan. Ga sempat buat makan
siang yang layak, karena hanya menghangatkan bihun. Ya suds, siapin dana buat
jajan kalau begitu. Lumayan tuh bihun buat ganjel. Dan jangan lupa, air minum.
Titik temu di stasiun Gondangdia. Baguslah, saya tinggal
naik kereta. Sengaja ga masuk gerbong khusus wanita, karena biasanya di gerbong
itu semuanya ‘berkebutuhan khusus’. Lagi menunggu pintu terbuka, saya dipanggil
oleh satpam wanita di dalam gerbong yang sudah lewat. Jadilah saya penghuni
priority seat. Alhamdulillah.
Sempat cari-carian dengan teman saya itu, akhirnya ketemu
juga. FYI, menggiring dua bocah petualang di sekitar stasiun Gondangdia itu
pe-er deh. Ya kopaja ngetem, mobil mewah klakson terus ga diangkat-angkat,
motor yang menggal menggol, belum lagi tiba-tiba disembur bajaj yang lagi
manasin mesin, dan acungan tangan para tukang ojek (tukang ojeknya rada
agresif). Pokoknya graham saya jadi ngilu deh karena harus serius.
Dari stasiun Gondangdia, saya dan teman saya yang juga
membawa dua anaknya memutuskan naik bajaj menuju balaikota. Salah satu halte city tour. Safir yang sudah menunjukkan
tanda-tanda pegal muter-muter, akhirnya tertidur dalam posisi berdiri melongok
ke arah sopir bajaj. Kebiasaan nih anak, main tidur aja.
Sempat mutar-mutar karena dikira mau ke walikota, akhirnya
sampai juga. Belum juga kelar keluarin kamera, eh Bus City Tournya datang.
Syukurnya lagi, di halte itu banyak yang turun, terlebih yang di bagian atas. Malika
yang senang banget saat menempati posisi kursi paling belakang. “Wah, bisnya
tinggi.” “Wah, serem banget.” Saya jadi rada terpasung karena dengan hawa AC
yang dingin, Safir tidur semakin semena-mena di pangkuan saya.
Dan busnya pun melaju. Malika sibuk tanya, “kenapa yang di
atas ga ada sopirnya?” “Itu suara dari mana?” “Kok ada polisi di bus?” Yang
beda memang ada suara tur guide. Namun setelah keseluruhan rute kami lewati,
saya mulai mencatat beberapa hal yang bisa ditambah.
- Menambah objek penjelasan. Mungkin juga tur guidenya sudah lelah sehingga tidak semua sifatnya bersejarah bisa diceritakan. Semisal, ketika patung Husni Thamrin dibacakan tapi kok patung kereta kencana yang berada tepat di seberangnya ga diceritain? Saya gak tahu loh itu. Apalagi patung itu lebih dulu ada. Atau terkait penggunaan pot-pot besar di bilangan Thamrin hingga Sudirman itu kebijakan wagub siapa. Yang konon wagub nonmuslim pertama di Jakarta. Bahkan dia yang rancang logo yang dipakai Grand Indonesia. Kalau yang baru bolehlah sebut bangku-bangku taman usulan Jokowi-mungkin bisa disebut juga asal kayunya dari mana. Asal muasal jalur Thamrin-Sudirman, siapa itu Sarinah. Berapa usia DjakartaTheater.
- Berkorelasi dengan si objek penjelasan. Contohnya, di museum nasional itu sekarang rutin ada pekan dongeng setiap Sabtu. Nah, informasi ini sejatinya turut disampaikan oleh tur guide. Anggap saja promosi. Orang kita kan walau dah banyak poster tetap saja nanya, nah apalagi kalau tidak diworo-woro. Atau jika monas ada acara. Atau mungkin Mahkamah Konstitusi menyediakan hari khusus untuk kunjungan wisata? Siapa yang tahu? Saling berintegrasi lah.
- Perpanjang rute. Sebenarnya rute terasa pendek. Ibaratnya kalau saya naik taksi ke HI, Cuma nambah beberapa ribu untuk melakukan rute bus city tour. Saya pikir sampai Kota Tua hehehe .... Katanya arah Pasar Baru, tapi kok ga merasa melewati Pasar Baru, ya?
- Bilingual? Ini mungkin berguna bagi wisatawan mancanegara kali ya.
Akhirnya kami berhenti di Sarinah untuk makan fastfood
penyumbang Israel (belinya sambil mengutuk ^^). Safir akhirnya bangun ketika
kami mencapai halte balaikota sekali lagi. Lumayan deh, daripada ga. Yah,
pengalaman buat mereka. Kalau saya dulu kan pernah mengalami bus tingkat. Bus
Mayasari. Memang sih, waktu itu horor naik ke atas, banyak om-om, gelap, panas.
Hehehehe kayanya Jakarta ga cocok punya bus tingkat macam Double Deckernya
London hihihiy...
Anyway, bagi Malika yang menyenangkan adalah ketika seharian itu dia mencoba ragam transportasi umum. "Amy, tadi kita awalnya naik apa?" Yak, silahkan hitung: kereta, bajaj biru, bis tingkat, metro mini, dan mikrolet. Kalau Jakarta lengang kaya begini mah emang enak naik transportasi umum biar dah reyot dan ga pakai AC :)
Anyway, bagi Malika yang menyenangkan adalah ketika seharian itu dia mencoba ragam transportasi umum. "Amy, tadi kita awalnya naik apa?" Yak, silahkan hitung: kereta, bajaj biru, bis tingkat, metro mini, dan mikrolet. Kalau Jakarta lengang kaya begini mah emang enak naik transportasi umum biar dah reyot dan ga pakai AC :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar