Bicara soal edukasi finansial sejak dini, saya memiliki
perbedaan pendapat dengan ibu saya, walau reputasinya sebagai pengelola
keuangan rumah tangga belum ada tandingannya. Bagi ibu saya, yang terpenting
adalah makan, agama, kesehatan, dan pendidikan. Hiburan tidak termasuk di
dalamnya.
Ini mungkin sedikit curahan hati saya sewaktu kecil. Pada
zaman saya dulu, saya lah anak pertama yang akhirnya diberi uang jajan. Padahal
saya bungsu loh. Kok bisa begitu? Soalnya sering kejadian saya menggunakan uang
untuk membeli buku pelajaran untuk jajan dan akhirnya ketahuan saat pembagian
rapor.
Uang jajan saja tidak cukup, kebutuhan pergaulan saya
menuntut uang jajan lebih banyak. Dan itulah yang membuat saya menggunakan uang
milik sekolah yang saya simpan sebagai bendahara saat duduk di bangku menengah.
Jika sudah saatnya pengumpulan uang ke guru, saya biasanya akan men’catut’
nominal uang yang saya minta dari orangtua saya dengan dalih kegiatan sekolah.
Parah, kan. Saya sudah korupsi sejak dini.
Ketika saya menginjak usia 17 tahun, barulah saya mendapat
akses untuk mengambil uang di tabungan saya. Sebelumnya hanya mama saya yang
bisa melakukannya. Setiap bulan, beliau mengisi tabungan anak-anaknya selama
bertahun-tahun. Hebat betul ibu saya
ini. Namun itu ternyata tidak cukup menggugah hati saya. Tabungan
bertahun-tahun itu ludes dalam waktu sebulan.
Beranjak dewasa, saya mempelajari beberapa hal bahwa
kebutuhan setiap anak berbeda-beda dan bisa jadi belum ketahuan bentuknya jika
tidak mendapatkan pengalaman yang kaya. Sebagai generasi kelahiran ’80-an, saya
hidup ketika pergaulan termasuk kebutuhan utama. Sekilas memang tidak penting,
tetapi sekali lagi kebutuhan anak berbeda-beda. Berkawan meningkatkan
kepercayaan diri saya di tengah dominasi orangtua dan kakak-kakak saya. Dan
berkawan, pada awalnya membutuhkan uang. Dan menguasai uang itu bukan hal yang
mudah.
Hal itulah yang mendorong saya mengajarkan anak tentang
mengurus uang sejak dini. Saya sendiri masih banyak kekurangannya. Saya
beralasan, saya tidak pernah benar-benar mengurus uang di usia dini. Oleh sebab
itu, saya ingin anak-anak saya tidak norak saat dewasa dan memiliki penghasilan
sendiri. Ibu saya memang menjelaskan sejak dini soal pentingnya menabung, investasi,
dan lain-lain, yang tidak beliau ajarkan adalah praktik langsungnya. Ya, teori
tanpa praktik itu akan memberi hasil yang tidak sempurna. Godaan uang di tangan itu sangat ....
silahkan isi sendiri deh.
Anak-anak saya kini berusia di bawah lima tahun. Pada si
kakak yang berusia 4 tahun, sedikit-sedikit saya ajarkan konsep uang dan
belanja. Dia sih sangat bersemangat menabung, belum memiliki ketertarikan
khusus soal konsep nilai uang. Uang baru terasa bernilai baginya saat saya ajak
dia ke arena bermain yang menggunakan koin. Arena bermain yang bising ini biasa
ada di mal. Kenapa lebih mudah di sini, karena fisik koinnya mudah dihitung
bagi anak yang baru mengenal angka.
Awalnya saya yang membeli sendiri koin tersebut. Tentu saja
koin itu habis dalam sekejap. Dan si anak akan merengek minta lagi dan lagi. Kesal
dengan perilaku tersebut, akhirnya saat hendak membeli koin, saya keluarkan
lembaran uang saya dari dompet.
“Lihat, ini Amy keluarin uang Rp10000,-. Nih, uang Amy jadi
tinggal dua lembar, rp10000,- dan Rp20000,- Coba kamu lihat dapat berapa koin.”
Saat itu anak saya sudah tahu angka, belum tahu nilai, tapi dia yakin bahwa
yang huruf depannya 1 itu jumlahnya lebih sedikit dari yang huruf depannya 2.
Kebetulan saya tidak ada lembaran Rp100000,-
Setelah menukar uang dengan koin, saya perlihatkan jumlah
koinnya. Saya suruh dia menghitung dan menghitung kembali usai dibagi dua
dengan adiknya. Saya biarkan dia memegang koinnya dan memilih permainan yang
dia suka. Dan ketika koinnya habis, saya selalu biasakan hanya mendapat satu
kali jatah nambah alias beli koin lagi. Kalau masih penasaran dan Amynya sedang
malas, boleh tambah lagi tapi diambil dari uang tabungannya.
Awalnya dia masih rungsing karena cepat sekali koin
bergelontor. Terlebih jika jumlah tiket yang didapat tidak cukup untuk ditukar
dengan apa pun.
“Ya, kamu sih kebanyakan pilih mainan yang ga dapat tiket.”
Anak saya itu memang lebih suka menaiki mobil-mobilan
goyang-goyang ketimbang atraksi yang lain. Saya pun tidak selalu menggiring ke
permainan yang mirip dengan judi.
Dan setelah beberapa kali, dia pun kemudian memilih mainan
dengan kesadaran penuh berapa koin yang akan habis dan tidak merengek saat koin
itu habis pun setelah ditambah. Dia pun tidak terlalu peduli dengan tiket,
malah lebih bersemangat kala mengumpulkan tiket itu ke dalam tas saya. Opsi
kedua yang melibatkan uang tabungannya pun nyaris tidak pernah dia ungkit.
Atau ketika harus memilih antara permainan koin dengan
softplay area berbayar. Biasanya saya akan jelaskan, jika ingin berada di
wahana permainan koin berarti hanya sebentar waktu yang dihabiskan. Berbeda
jika bermain di softplay area berbayar. Dan itu pun dikorelasikan dengan jumlah
waktu yang sejatinya hendak kita habiskan di mal. Jangan ketika akan segera
pulang dalam 15 menit, malah memilih softplay area berbayar. Rugi, dong. Biasanya
perundingannya agak alot.
Permainan atau hiburan memang boleh dinikmati sesekali,
tetapi tidak jarang orang yang menyadari bahwa itu hanya perlu dilakukan
sesekali setelah mengalami kesulitan finansial usai kecanduan hiburan. Bagi
saya, lebih dini proses terperangkapnya lebih awal pula fase merangkak naiknya.
Tahu kan, pengalaman adalah guru terbaik. Intinya yang hendak saya sampaikan
adalah, orangtua akan berusaha memfasilitasi kebutuhan pergaulan anak-anak
(dengan prioritas yang nyaris sama dengan kebutuhan utama) tentu dalam jumlah
dan batas usia yang disepakati. Namun, pada akhirnya tingkat kesenangan itu
bukan diukur dari jumlah uang yang dihabiskan melainkan seoptimal apa uang yang
ada berubah menjadi keriaan. Dan itu didapat dari pengalaman dan kedewasaan. Untuk
yang satu ini, beda orangtua beda pendapat yaa ....
Toh, jika umur masih panjang, pendidikan soal finansial pada
anak-anak ini akan terus berambah dan berubah bentuk seiring waktu. Anak-anak
sejatinya akan semakin kritis dan bisa jadi mereka akan memprotes pilihan
metode saya. I guess, PR saya masih banyak.
anak2 memang perlu diajarkan menabung, malahan saking giatnya anak saya menabung tiap kali menemukan uang koin selalu saja yg diingat celengan
BalasHapusHehe iya mak, kayanya koin yg diketemukan dah hak milik anak aja. Mengajari anak menabung sebenarnya lbh mudah, yg agak tricky itu mengajarkan belanja bijak. Soalnya begitu mereka tahu tabungan itu bisa diwujudkan dlm bentuk lain, itu godaan sekali hehehe ....
Hapus