Sabtu, 23 Agustus 2014

Amy’s Story: Edukasi Finansial Sejak Dini

Bicara soal edukasi finansial sejak dini, saya memiliki perbedaan pendapat dengan ibu saya, walau reputasinya sebagai pengelola keuangan rumah tangga belum ada tandingannya. Bagi ibu saya, yang terpenting adalah makan, agama, kesehatan, dan pendidikan. Hiburan tidak termasuk di dalamnya.
Ini mungkin sedikit curahan hati saya sewaktu kecil. Pada zaman saya dulu, saya lah anak pertama yang akhirnya diberi uang jajan. Padahal saya bungsu loh. Kok bisa begitu? Soalnya sering kejadian saya menggunakan uang untuk membeli buku pelajaran untuk jajan dan akhirnya ketahuan saat pembagian rapor.

Uang jajan saja tidak cukup, kebutuhan pergaulan saya menuntut uang jajan lebih banyak. Dan itulah yang membuat saya menggunakan uang milik sekolah yang saya simpan sebagai bendahara saat duduk di bangku menengah. Jika sudah saatnya pengumpulan uang ke guru, saya biasanya akan men’catut’ nominal uang yang saya minta dari orangtua saya dengan dalih kegiatan sekolah. Parah, kan. Saya sudah korupsi sejak dini.

Ketika saya menginjak usia 17 tahun, barulah saya mendapat akses untuk mengambil uang di tabungan saya. Sebelumnya hanya mama saya yang bisa melakukannya. Setiap bulan, beliau mengisi tabungan anak-anaknya selama bertahun-tahun. Hebat betul ibu  saya ini. Namun itu ternyata tidak cukup menggugah hati saya. Tabungan bertahun-tahun itu ludes dalam waktu sebulan.

Beranjak dewasa, saya mempelajari beberapa hal bahwa kebutuhan setiap anak berbeda-beda dan bisa jadi belum ketahuan bentuknya jika tidak mendapatkan pengalaman yang kaya. Sebagai generasi kelahiran ’80-an, saya hidup ketika pergaulan termasuk kebutuhan utama. Sekilas memang tidak penting, tetapi sekali lagi kebutuhan anak berbeda-beda. Berkawan meningkatkan kepercayaan diri saya di tengah dominasi orangtua dan kakak-kakak saya. Dan berkawan, pada awalnya membutuhkan uang. Dan menguasai uang itu bukan hal yang mudah.

Hal itulah yang mendorong saya mengajarkan anak tentang mengurus uang sejak dini. Saya sendiri masih banyak kekurangannya. Saya beralasan, saya tidak pernah benar-benar mengurus uang di usia dini. Oleh sebab itu, saya ingin anak-anak saya tidak norak saat dewasa dan memiliki penghasilan sendiri. Ibu saya memang menjelaskan sejak dini soal pentingnya menabung, investasi, dan lain-lain, yang tidak beliau ajarkan adalah praktik langsungnya. Ya, teori tanpa praktik itu akan memberi hasil yang tidak sempurna.  Godaan uang di tangan itu sangat .... silahkan isi sendiri deh.

Anak-anak saya kini berusia di bawah lima tahun. Pada si kakak yang berusia 4 tahun, sedikit-sedikit saya ajarkan konsep uang dan belanja. Dia sih sangat bersemangat menabung, belum memiliki ketertarikan khusus soal konsep nilai uang. Uang baru terasa bernilai baginya saat saya ajak dia ke arena bermain yang menggunakan koin. Arena bermain yang bising ini biasa ada di mal. Kenapa lebih mudah di sini, karena fisik koinnya mudah dihitung bagi anak yang baru mengenal angka.

Awalnya saya yang membeli sendiri koin tersebut. Tentu saja koin itu habis dalam sekejap. Dan si anak akan merengek minta lagi dan lagi. Kesal dengan perilaku tersebut, akhirnya saat hendak membeli koin, saya keluarkan lembaran uang saya dari dompet.

“Lihat, ini Amy keluarin uang Rp10000,-. Nih, uang Amy jadi tinggal dua lembar, rp10000,- dan Rp20000,- Coba kamu lihat dapat berapa koin.” Saat itu anak saya sudah tahu angka, belum tahu nilai, tapi dia yakin bahwa yang huruf depannya 1 itu jumlahnya lebih sedikit dari yang huruf depannya 2. Kebetulan saya tidak ada lembaran Rp100000,-

Setelah menukar uang dengan koin, saya perlihatkan jumlah koinnya. Saya suruh dia menghitung dan menghitung kembali usai dibagi dua dengan adiknya. Saya biarkan dia memegang koinnya dan memilih permainan yang dia suka. Dan ketika koinnya habis, saya selalu biasakan hanya mendapat satu kali jatah nambah alias beli koin lagi. Kalau masih penasaran dan Amynya sedang malas, boleh tambah lagi tapi diambil dari uang tabungannya.

Awalnya dia masih rungsing karena cepat sekali koin bergelontor. Terlebih jika jumlah tiket yang didapat tidak cukup untuk ditukar dengan apa pun.

“Ya, kamu sih kebanyakan pilih mainan yang ga dapat tiket.”

Anak saya itu memang lebih suka menaiki mobil-mobilan goyang-goyang ketimbang atraksi yang lain. Saya pun tidak selalu menggiring ke permainan yang mirip dengan judi.

Dan setelah beberapa kali, dia pun kemudian memilih mainan dengan kesadaran penuh berapa koin yang akan habis dan tidak merengek saat koin itu habis pun setelah ditambah. Dia pun tidak terlalu peduli dengan tiket, malah lebih bersemangat kala mengumpulkan tiket itu ke dalam tas saya. Opsi kedua yang melibatkan uang tabungannya pun nyaris tidak pernah dia ungkit.

Atau ketika harus memilih antara permainan koin dengan softplay area berbayar. Biasanya saya akan jelaskan, jika ingin berada di wahana permainan koin berarti hanya sebentar waktu yang dihabiskan. Berbeda jika bermain di softplay area berbayar. Dan itu pun dikorelasikan dengan jumlah waktu yang sejatinya hendak kita habiskan di mal. Jangan ketika akan segera pulang dalam 15 menit, malah memilih softplay area berbayar. Rugi, dong. Biasanya perundingannya agak alot.

Permainan atau hiburan memang boleh dinikmati sesekali, tetapi tidak jarang orang yang menyadari bahwa itu hanya perlu dilakukan sesekali setelah mengalami kesulitan finansial usai kecanduan hiburan. Bagi saya, lebih dini proses terperangkapnya lebih awal pula fase merangkak naiknya. Tahu kan, pengalaman adalah guru terbaik. Intinya yang hendak saya sampaikan adalah, orangtua akan berusaha memfasilitasi kebutuhan pergaulan anak-anak (dengan prioritas yang nyaris sama dengan kebutuhan utama) tentu dalam jumlah dan batas usia yang disepakati. Namun, pada akhirnya tingkat kesenangan itu bukan diukur dari jumlah uang yang dihabiskan melainkan seoptimal apa uang yang ada berubah menjadi keriaan. Dan itu didapat dari pengalaman dan kedewasaan. Untuk yang satu ini, beda orangtua beda pendapat yaa ....


Toh, jika umur masih panjang, pendidikan soal finansial pada anak-anak ini akan terus berambah dan berubah bentuk seiring waktu. Anak-anak sejatinya akan semakin kritis dan bisa jadi mereka akan memprotes pilihan metode saya. I guess, PR saya masih banyak. 

2 komentar:

  1. anak2 memang perlu diajarkan menabung, malahan saking giatnya anak saya menabung tiap kali menemukan uang koin selalu saja yg diingat celengan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe iya mak, kayanya koin yg diketemukan dah hak milik anak aja. Mengajari anak menabung sebenarnya lbh mudah, yg agak tricky itu mengajarkan belanja bijak. Soalnya begitu mereka tahu tabungan itu bisa diwujudkan dlm bentuk lain, itu godaan sekali hehehe ....

      Hapus