Mata saya terpaku pada satu berita. Berita yang berbeda di
antara tajuk-tajuk utama lainnya. Bahkan nyaris saya lewati demi mencari berita
gosip terkini, sedang bosan dengan berita politik.
Berpisah 10 tahun, Seorang
Anak Korban Tsunami Bertemu Kembali dengan Keluarganya.
Ada semacam gelembung-gelembung aneh bersahutan di dada
saya. Hendak memunculkan sesuatu, sebuah kotak Pandora.
Saya bahagia membaca kabar itu, tetapi di lain sisi berita
ini juga turut memberikan reaksi campur aduk bagi para orangtua korban tsunami
lainnya. Harapan yang telah mereka akhirnya sepakati untuk dikubur. Mimpi para
orangtua yang kehilangan anak (anak)nya pascatsunami.
Saya teringat kakak sepupu saya. Saat berita tsunami sampai
di telinganya, dia segera memicu mobilnya dari Lho Sukon menuju Ulhe Lhee.
Menuju tempat adik beserta suami dan anak-anaknya. Terlebih lagi, menuju tempat
yang sama dengan tempat anak perempuannya dititipkan untuk sekolah. Saya tidak
bisa membayangkan mana yang lebih dipikirkannya, adiknya atau anaknya. Semuanya
adalah keluarga tercinta.
Tiba di Ulhee Lhee langit Aceh gelap gulita. Dengan berbekal
senter, kakak sepupu saya itu meninggalkan suaminya yang terpukul, ditemani
abangnya yang turut menitipkan anaknya di rumah adiknya, mencari ke lokasi.
Melewati puluhan bahkan ratusan anak yang terlihat linglung. Menggenggam satu
foto anaknya. Setibanya di sana, rumah sang adik sudah terkubur. Rumah yang tak
jauh dari tepian pantai itu, rata dengan tanah. Si abang menemukan sebuah mayit
wanita dalam keadaan tersangkut. Hanya kakinya yang terlihat. Dan dalam
perihnya dia merasa itulah kaki sang adik. Dibersihkan kaki itu dan berdoa. Dia
tengah melepaskan keterikatannya dan ikhlas.
Sementara kakak sepupu saya masih mencari. Ada sebutir asa
mengganjal di relungnya ketika beberapa orang mengatakan melihat anaknya dalam
keadaan kaki terluka di pinggir sungai. Namun, ketika dicari ke sepanjang
sungai, tidak ada yang dicari. Hilang adalah sebuah keambiguan ketika harus
bertemu dengan kata kematian. Kematian berkaitan dengan aktivitas mandi
jenazah, menshalatkan, dan kemudian menguburkan. Tetapi kini, apalah yang harus
dilakukan? Anaknya hilang seperti jasad ampuneknya yang hilang usai diculik saat konflik
kemerdekaan. Tak ada kuburan yang dapat diziarahi. Semuanya gaib.
Entah berapa lama, malam-malam sunyi kakak sepupu saya
berkecamuk . “Masih hidup kah anak saya?” Imajinasinya tak mampu membayangkan
jika anaknya termasuk dari anak-anak yang digiring orang-orang jahat. Hingga
akhirnya terucaplah kalimat yang tak kalah mengoyak, “Lebih baik anakku mati
daripada hidup dalam kesengsaraan.”
Bagi para ibu, kehilangan anak adalah kehilangan hampir
seluruh organ tubuhnya. Toh, dia harus bangkit, karena masih ada dua anak yang
masih hidup. Dan mengubur harapan bahwa anaknya masih hidup adalah salah
satunya.
Dia tidak sendirian. Ratusan ribu orang mengalami hal yang
sama. ‘Bangkit’ adalah satu-satunya pilihan bagi masyarakat Aceh. Puluhan tahun
menjadi wilayah konflik, daerah istimewa ini semakin terlihat tidak istimewa.
Suatu daerah ketika tak ada perkembangan di segala aspek. Kata ‘berkembang’
mungkin terdengar asing untuk sebuah ‘kata kerja’ bagi mereka. Puluhan tahun,
mereka hanya bergulat dengan kata ‘bertahan’ dan ‘berjuang’.
Sejarah peperangan di Aceh masih sangat dekat dengan keadaan
saat ini. Maklum, Aceh adalah salah satu daerah terakhir yang berhasil diduduki
Belanda. Kami ‘hanya’ mengalami beberapa puluh tahun penjajahan. Konflik yang
terus ada sejak kemerdekaan Indonesia pun membuat masyarakat Aceh sejatinya
tidak takut mati jika harus berhadapan dengan bedil. Namun ketika bencana alam
menghantam mereka, mereka pun bingung bagaimana harus bertahan.
Bagi masyarakat Aceh, daerah pesisir adalah pusat
peradabannya. Dan ketika alam turut menghabisi pusat peradaban itu secara
harfiah, jadilah Aceh bak sebatang kayu yang kehilangan akar. Akankah ia mampu
tumbuh lagi?
Bencana datang bak ‘bencana’ kecil bagi saya ketika
tiba-tiba kehilangan seluruh data di komputer akibat virus. Yang bisa kita
lakukan hanyalah mengumpulkan yang tercecer dan mulai merakit kembali. Mungkin tidak
seperti rencana awal, tetapi menuju hasil yang lebih baik.
Ketika orang-orang dari berbagai daerah hingga negara
berlomba-lomba datang ke Aceh, saya hanya termangu. Apa yang dapat saya lakukan?
Seseorang yang memiliki darah Aceh tetapi tak sekalipun pernah menginjak tanah
Serambi Mekah itu. Seseorang yang hanya mendengar Aceh dalam cerita-cerita
kepahlawanan buyut saya. Toh turut lemas seluruh badan saat melihat foto udara
daerah pesisir Aceh pascatsunami. Saat titik-titik seperti semut itu adalah sebagian
kecil dari ribuan mayit yang terhampar di tanah Aceh dan sejak saat itu saya
menolak segala pemberitaan tentang hal itu. Saya merasa tengah menjadi tabulasa
hampa berlabel Aceh. Anak Aceh gadungan. Ucapan terima kasih saya pada
kawan-kawan yang sempat menjadi relawan di Aceh menjadi tamparan bagi saya
sendiri. Apa yang sudah saya lakukan?
Tetiba saya teringat sesuatu. Kuraih secarik foto dari laci saya. Foto seorang gadis remaja tengah memetik buah. Saya teringat pernah memegang foto keponakan saya yang hilang itu. Di belakang foto ada secarik kertas lain, sebuah surat. Konon dikirim oleh si anak itu. “Terima kasih telah memberikan dana ke *** Children’s Village.” Adalah satu dari kalimat lain yang tertera di sana. Rupanya dia adalah salah satu anak yang mendapat bantuan program perlindungan anak pascabencana. Program yang turut didukung secara global oleh Angelina Jolie. Kini, menjuarai kejuaraan taekwondo dan masih menggantung banyak cita-cita lain.
Saat menerima surat ini, awalnya saya hanya biarkan di pojok
lemari rias saya. Tidak terbuka, karena saya tahu itu adalah pelaporan terkait
ke mana dana yang saya alirkan setiap bulan. Saya pikir, yah sudahlah, toh
waktu itu juga karena tidak tega menolak relawannya di mal. Setelah sekian lama
dan tiba waktunya merapikan lemari rias saya itu, saya iseng membuka surat itu.
Dan ketika membacanya saya merasa tengah terhubung dengan sesuatu. Tak pernah
terbayangkan jika dana kecil itu akan tiba di Aceh. Dan surat itu seolah
mengatakan, “hei, kamu bisa melakukan sesuatu untuk Aceh. Tempat sebagian
darahmu mengalir.”
Bencana memang telah meninggalkan sebuah luka di hati saya, memang
tidak sedalam mereka yang mengalaminya secara langsung, tetapi ternyata luka
itu membuka sebuah lubang yang berisi sebuah mandat. Mandat yang sudah ada
sejak saya lahir ke dunia, bahwasebagai
salah satu anak Aceh bahwa saya turut bertanggungjawab berperan serta dalam
pembangunan masyarakat Aceh sebagai daerah yang kental keagamaan dan
kebudayaannya, daerah yang maju sumber daya manusia juga alamnya. Mandat yang
sudah hampir saya lupakan karena sempat merasa tak pernah benar-benar terikat
dengan Aceh. Saya sejatinya tidak boleh menyerah. Seperti kakak sepupu saya
yang tidak menyerah dengan hidupnya. Saya yang tidak kehilangan apa pun
seharusnya mampu melakukan lebih dari itu. Dan tulisan ini adalah salah
satunya....
#10ThnTsunamiAceh
#10ThnTsunamiAceh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar