Pagi ini saya terpaku pada update status salah satu teman saya yang menuliskan "RIP Robin Williams". Rasanya tak percaya. Lalu di tengah lambatnya internet pagi itu, samar-samar saya baca, "apparent suicide". Entah kenapa saya tidak terkejut. Rasanya hanya hal tragis yang mampu meredam lebar senyumnya yang membuat matanya kian menyipit, terlebih di usianya yang semakin lanjut.
Padahal beberapa bulan lalu, saya baru menuliskan review The Crazy Ones untuk serial komedi televisi yang dia produseri setelah sekian puluh tahun meninggalkan dunia televisi. Saya merasa kematiannya ada hubungannya dengan proyek terakhirnya. Saya bersabar menunggu aliran sinyal untuk mencari tahu tentang motif kematian Robin Williams. Ya, istrinya memang menekankan bahwa keluarga lebih mementingkan apa yang telah Robin Williams lakukan selama hidupnya. Toh, rupanya rekam jejak hidupnya menunjukkan soal depresi dan ketergantungan obat-obatan yang dialaminya. Saya teringat karakter Robins di The Crazy Ones adalah seorang ayah yang dulunya seorang kreator iklan genius tapi kemudian terlarut dalam kegeniusannya sehingga menenggelamkan dirinya sebagai seorang alkoholik dan pengkonsumsi obat-obatan gangguan syaraf. Yang kalau lupa makan obat, pasti kumat. Hal yang mengingatkan pada artis lokal yang sedang hits beritanya.
Mengingat The Crazy Ones adalah proyek pribadinya, saya bertanya pada diri sendiri, apakah dia tengah merefleksikan dirinya sendiri? Saya jadi sedih. Sedih pada para penderita depresi yang tak kunjung tahu bagaimana cara menyembuhkan dirinya sendiri. Padahal pekerjaannya selama puluhan tahun adalah menghibur dunia dengan karakternya yang kocak tapi juga bisa sangat serius menghanyutkan. Saya jadi merasa sebagai obyek penerima, tak mampu membalas kembali.
INSPIRASI
Jika bicara tentang inspirasi, banyak teman mengungkapkan inspirasi yang didapatkan dari Robin Williams dari berbagai filmnya. Banyak film bagus tersebutkan di sana. Tapi belum ada yang menyebutkan film favoritku dari Robin Williams. Mungkin akibat banyak kontak yang saya unfollow hehehe ....
Namun, walau tidak ada yang bertanya, saya akan bilang Patch Adams sebagai inspirasi saya. Ini ada hubungannya dengan cara saya menghadapi anak-anak. Tahu kan, ini cerita tentang seorang dokter yang melakukan pendekatan humanis pada pasiennya. Si dokter dengan hidung merah ala badut. Walau diproduksi pada 1998, saya merasa sulitnya melakukan yang dia lakukan adalah ketika saya berhadapan dengan para pasien anak penderita kanker. Waktu itu saya masih aktif di Kelompok Pencinta Bacaan Anak dan saat itu adalah giliran saya mendongeng bagi mereka. Dan saya yakin, walau Robin Williams tidak tengah berakting sebagai dokter pun, dia mampu melakukannya jauh lebih baik dari saya. Ya iyalah, saya demam panggung gitu.
Rasanya saya masih harus belajar banyak dari karakter Robin Williams. Yak, baiklah, mari cari filmnya :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar