Uhuk uhuk.
Suara batuk itu terdengar lagi di sela tawa mereka. Dua
bocahku. Pilu rasanya hati ini setiap kali aku mendengarnya. Ketika kenyataan
menghantamku seratus kali lebih hebat. Lebih nyata dari setiap ngilu yang
kurasakan saat ini akibat efek kemoterapi. Ya, bagi seorang ibu, sakit anak
adalah derita. Dan lebih menderita lagi jika sakit itu ditularkan oleh aku,
ibunya sendiri.
Awalnya hanya pemeriksaan rutin anak-anak ke dokter anak
langganan kami. Namun, melihat tubuh kedua anakku yang turun drastis berat
badannya akhirnya pemeriksaan berlanjut menjadi rontgen dan kemudian suntik
mantoux. Hasilnya, positif TB.
Aku langsung melirik suamiku dengan tatapan menuduh. Si
perokok aktif dan pernah mengalami pengobatan TBC. Dengan kesal, aku turut
memeriksakan diri. Namun, urutannya kini berbeda. Usai menjalani rontgen, aku
menjalani serangkaian pemeriksaan darah. Aku curiga. Ada yang tidak beres. Tak
banyak yang kupikirkan, karena aku fokus di pengobatan anak-anak yang harus
disiplin selama enam bulan. Aku dialihkan dari satu dokter ke dokter yang lain.
Entah kenapa, aku pun tak terpikir untuk bertanya sejak awal. Ketika akhirnya
aku bertanya, ada sedikit sesal, karena jawaban panjang lebar si dokter hanya
tersangkut beberapa kata di kepalaku. Kanker paru-paru. Dan ada TBCnya.Ternyata aku penyebabnya.
Pikiranku membawaku melayang pada perkataan abangku, “Bagi
perempuan, sekali kamu merokok, maka tombol risiko kanker otomatis menyala.”
Ucapannya dua puluh tahun yang lalu,
ketika mengetahui aku merokok.
Aku menolak mengindahkan protes bagian otakku yang lain, “tapi
aku sudah berhenti merokok sepuluh tahun yang lalu.”
Tak ada yang merokok di rumahku semasa aku kecil. Aku hanya
melihat orang merokok ketika adik-adik ibuku datang. Namun, yang membuatku
tertarik adalah ketika melihat kedua kakak perempuan papaku dan juga anak
perempuannya merokok. Saat itu, usia 9 tahun, aku merasa mereka terlihat
seperti perempuan berkelas nan dinamis. Memang di budaya Sumatra zaman dulu,
para wanita dengan tingkat strata tinggi biasanya merokok sembari mengunyah
sirih. Atas nama budaya aku bahkan mengidolakan salah satu tokoh perempuan cantik
dalam kisah Jawa yang merangkap sebagai penjual rokok, ketika para lelaki
mengantri untuk membeli rokok bekas hisapannya. Aku merasa terikat dengan
sejarah saat memikirkannya.
Lalu rokok adik-adik mamaku lah yang menjadi modal awal saya
mencoba merokok. Tidak ada yang mengajari. Aku belajar cara menyalakannya yang
tidak seperti lilin. Tidak ada rekan kejahatan, hanya aku sendiri. Saat
teman-teman SMP baru belajar merokok, aku justru menghindar dari mereka. Ah, norak, gue dah jago.
Aku memang pongah, sepongah ketika aku menyindir suami. “Gue
dah move on. Kamu kok malah masih sibuk cari identitas diri?” Ya, saat itu aku
sudah berhenti. Aku sudah bosan merokok. Lagipula di zaman sekarang merokok
tidak lagi membuat aku terlihat keren atau berkelas atau dinamis. Kenapa?
Karena aku lihat para ibu pengemis, gadis-gadis jalanan, mereka pun merokok. Aku
hilang rasa. Itu semua omong kosong. Aku tak lebih dari seorang zombigaret.
Berkeliaran dengan paru-paru rusak dan berdandan seolah aku keren.
Aku belum bebas. Seperti banyak penderita kanker lainnya,
setiap manusia memiliki kemampuan masing-masing terkait organ tubuhnya. Ada
yang sensitif, ada yang tidak. Ada yang merokok ratusan tahun tetapi masih
hidup. Ada yang menjadi perokok pasif tetapi jadi penderita. Aku ‘hanya’
merokok lima belas tahun. Bukan perokok berat. Tapi, Tuhan berkata lain. Aku
membayar dosaku.
Suamiku datang untuk merapikan selimut yang memeluk tubuhku.
Dia kini berhenti merokok. Akhirnya. Dulu, aku takuti dia dengan masa depan
anak-anaknya jika dia meninggal cepat. Namun, dia berkilah dengan jumlah
asuransi yang akan anak-anak dapatkan. Ah, rupanya jika yang tercinta sakit
parah akibat merokok barulah dia tergugah. Dia pun memulai hidup sehat. Sesehat-sehatnya.
“We will survive.”
Bisiknya di sela nyaring pekik riang anak-anak yang tengah bermain di ruang
tengah. Semoga.
Sumber foto: www.facebook.com/zombigaret
Sumber foto: www.facebook.com/zombigaret
Serius ti, itu kamu? Ya Allah, semoga semua baik2 aja...
BalasHapusHihihiy ... Aku harusnya balas ini lebih cepat ya =) mudah2an ga bikin orang2 kesalketika tahu ini hanya fiksi yang dilombakan. Alhamdulillah baik dan semoga makin baik demgam si suami berhenti merokok
HapusKepada pembaca yth, agar tidak salah pqham bahwa tulisan ini adalah fiksi semata. Ada tiga hal yang fiksi: saya mengidap kanker paru2, suami berhenti merokok, dan anak2 terkena tbc. Well, salah satu anak saya hampir dinyatakan tbc sblm hasil mantoux dinyatakan negatif dan saat itu suami saya mgkn hampir berhenti merokok. Selebihnya memang diambil dr pengalaman saya pribadi. Lessons of the story adl, apakah harus ada yg mati dulu, atau tersiksa dulu baru berhenti merokok?
BalasHapusOh ya ampun, aku pikir beneran. Syukurlah kalau gak terjadi seburuk itu ya. Semoga meski fiksi, temen2 yang lain tergugah. Karena bagaimanapun, merokok memang pemicu kanker paru dan tb akan semakin buruk jika di lingkungan ada yang merokok, apalagi pada anak2 yg masih rentan. Semoga si kecil sehat lagi yaaa...
BalasHapus