Minggu, 05 Juli 2015

hoMYNGGU: Pelarangan Gojek dan Grabjek, Tanda Tidak Siap Bersaing?



Pagi kemarin saya menemukan sesuatu yang baru di dekat pintu masuk motor di Kalibata City. Saya berharap salah lihat, sehingga saya melirik kembali, ternyata memang benar tulisannya.
“Persatuan Ojek Kalibata City melarang Gojek dan Grabjek masuk ke kawasan Kalibata City.”
What the cikibum dum dum?
Seriusan?
Ga ada cara lain apa?


Langsung sewot seketika. Walau hanya berkutat di kepala sendiri. Saya memang belum mencoba jasa Gojek yang sedang promo gila-gilaan sejak Juni lalu, tapi saya mengikuti berita perkembangannya di media massa. Alasannya sederhana, ponsel saya tidak bisa mengunduh aplikasinya. Kesian ya ... Dan jika dari pemberitaannya terlihat bahwa Gojek tidak hanya membahagiakan bagi para pengguna Gojek karena harganya, melainkan tetap menyejahterakan pengemudinya. I mean it’s a win win solution. Eh, ternyata ada yang merasa tidak win. Dalam hal ini tukang ojek biasa.


Saya merasa pernyataan di spanduk itu terasa gegabah dan tidak fair. Ini kan zamannya perdagangan bebas, kalau bersaing dengan produk lokal saja sudah sewot apalagi kena produk luar? Persaingan akan terus ada, bahkan sudah ada di antara tukang ojek itu sendiri. Dari sekian banyak tukang ojek, ada berapa sih yang benar-benar punya pelanggan tetap, bahkan setelah kedatangan Gojek? Tidak banyak. Tapi ada. Kenapa mereka ada? Ya, karena mereka istimewa.


Izinkan saya menceritakan seorang tukang ojek yang jadi langganan saya. Namanya Pak M (belum izin orangnya soalnya). Akses terpenting dari seorang tukang ojek adalah, nomor telepon. Pemasaran  dari mulut ke mulut tidak akan berjalan mulus tanpa adanya nomor telepon. Dan telepon tersebut harus punya pulsa heehe ... bagi saya yang parnoan, berkomunikasi via sms cukup menenangkan saya.
Kedua, fasilitas. Suatu kali, saya hendak meminta mengantarkan kue pesanan ke suatu tempat yang sebenarnya tidak jauh tapi saya tak punya peta untuk mengantarkannya sendiri apalagi dengan anak-anak dan jika menggunakan kurir kue harganya terlalu mahal plus saya agak buru-buru. Ketika kami bertemu di lobi, saya tanyakan jenis motornya apa, karena kuenya tidak boleh miring-miring, saya berharap dia punya motor matic. Dia bilang bisa diatur karena dia bisa menaiki berbagai jenis motor. Saya tidak tahu apakah dia memiliki sendiri motor tersebut atau menyewa, pokoknya pelanggan perlunya apa dia bakal cari.
Ketiga, apa lu minta gua ada. Pak M ini tidak hanya menyediakan jasa antar orang dan barang, tapi bisa juga untuk urusan lain seperti mengambil paspor, membantu membuatkan akte dan kartu keluarga. Di kota yang serba ribet jika harus urus sendiri ini, ada orang yang seperti itu sangat membantu.
Keempat, ikhlas alias ga ngemplang harga. Apa pun jasanya dia ga pernah kasih harga pasti, selalu diakhiri dengan ‘terserah, ibu.’ Apalagi urusan bantu bikin surat-surat di atas, ga kasih harga sama sekali. “Terserah ibu saja.” Orang yang kaya gini jadwal ngojeknya padat banget loh. Yah, macam pengemudi gojek itulah. Saya jadi teringat tukang ojek yang punya sampingan sebagai marketing burger murah meriah di daerah Perumnas Klender.
Kelima, dapat dipercaya alias amanah. Pak M ini juga dipercaya untuk antar jemput anak sekolah loh. Kita sebagai orangtua kan ga sembarangan pilih orang untuk antar jemput anak kita ke dan dari sekolah? Dan si Pak M ini punya beberapa pelanggan yang memercayakan anak-anak mereka diantar oleh beliau. Nah, ini yang ga bisa diakses oleh Gojek. Karena kita ga bisa pilih drivernya kan?

Jadi, kenapa si Persatuan Ojek itu kebakaran jenggot? Masih ada cara untuk bersaing di jalan yang sama dengan Gojek tanpa harus sikut-sikutan.

Syukurlah pengemudi Gojek tak kalah strategi. Kini mereka melepas jaket seragam saat memasuki area Kalibata City. Saya sih berharap mereka tidak dipalak preman saat menanti pelanggan di luar area Kalibata City. Dan semoga para ojek yang masih berpikiran sempit itu berbondong-bondong memperbaiki layanan dan mulai melihat pekerjaan ojek itu sebagai karier yang bisa dibangun. Ini bukan aksi tolong menolong, di mana kami para pengguna dilihat sebagai pengemis ojek yang harus terima dengan harga tinggi dan helm bau. Dinilai hanya karena kami tinggal di apartemen (yang kecil banget) atau kerja di Sudirman (padahal pegawai biasa), itu namanya diskriminasi, bung. 



Siapa yang tahu, ojek akan menjadi andalan wisata Indonesia di mata pelancong internasional dan punya reputasi positif. Jadi, ayo, bersaing sehat.  Penduduk Indonesia banyak, ga usah takut kehilangan pelanggan. 

4 komentar:

  1. Kalau saya cermati, aksi menentang Gojek (dan usaha sejenisnya) itu disebabkan karena kenyamanan orang-orang tersebut (dalam mencari nafkah) terganggu.

    Hidup ini memang dinamis. Perubahan terjadi setiap saat. Tren juga selalu berubah tiap tahun. Karena itu sifat adaptif dan kompetitif mutlak dimiliki oleh orang-orang masa kini. Sayangnya, beberapa orang terlanjur "terjebak" dalam rutinitas dan zona nyaman sehingga sulit untuk mengembangkan diri.

    Pada akhirnya, dalam konsep bisnis persaingan bebas seperti ini, siapa yang memberikan penawaran lebih menarik itulah yang menguasai pasar. Itu sudah hukum ekonomi, dan sayangnya para penentang gojek itu sepertinya belum paham ilmu-ilmu seperti ini..

    BalasHapus
    Balasan
    1. nice comment. jd ingat waktu blue bird pertama kali masuk ke bandung. sempat horor juga ... semoga bapak2 dan ibu2 gojek itu bertahan dgn selamat

      Hapus
  2. Mungkin kalo saja ada hubungan kerja sama antara gojek dan ojek biasa mungkin tidak akan jadi runyam begini masalahnya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Asal muasal gojek kan dr ojek biasa juga, bukan?

      Hapus