Kamis, 13 Maret 2014

Mengejar Ari-ari

Ada yang mengatakan bahwa ari-ari adalah 'kembaran' kita, atau dalam bahasa bulenya 'soulmate'. Maklum saja, semua bayi selalu membawa ari-ari dalam kandungan. Kelahiran selamatlah yang memisahkan mereka. Tradisi memaparkan bahwa ketika ari-ari dikubur itu dimaksudkan agar si anak selalu ingat tempat tinggalnya. Jika dilarungkan ke laut maka semoga si anak senantiasa tabah di perantauan. Dan pertanyaan saya sejak dulu adalah, di manakah ari-ari saya berada?

Nyaris tiga puluh tiga tahun yang lalu, saya akhirnya harus berpisah dengan ari-ari saya setelah sembilan bulan sepuluh hari berada di rahim mama saya. Saat itu, 17 Juni, adalah tanggal yang tercatat di akta kelahiran saya dengan stempel Kerajaan Belanda. Ya, saya lahir di negeri kincir angin. Hanya sekejap. Usia dua tahun saya sudah mudik bersama mama dan ketiga saudara saya ke Jakarta. Tak ada kenangan Eropa sama sekali, selain foto. Singkatnya, saya hanya numpang lahir. Toh, akta lahir saya cukup ampuh untuk mendapatkan akses komunitas populer di sekolah.



Hanya saja saya merasa hampa. Saya bahkan memasukkan pilihan sastra Belanda kala hendak mengikuti ujian UMPTN. Saya lulus. Dan empat tahun kemudian, dari si bungsu yang hanya bisa bengong saat orangtua dan kakak-kakak saya bercerita tentang Belanda menjadi salah satu yang bisa dijadikan rekan berbahasa Belanda bagi orangtua saya.

Satu kurangnya. Saya belum pernah ke sana. Saya tidak cukup pintar di kampus untuk meraih beasiswa summer course. Saya tidak cukup gesit mencari beasiswa strata 2. Saya tidak tertarik berkencan dengan bule Belanda--pasti dilarang oleh papa saya. Dan keluarga saya tidak sekaya itu untuk bisa bolak balik ke luar negeri.

Sejak mudik tahun 1983, itulah saat ketika saya 'terdampar' di Indonesia. Saya melihat orangtua, saudara dekat dan jauh, teman, rekan, tetangga, atau orang yang kebetulan duduk bersebelahan dengan saya di bus bergantian menambah cap imigrasi Belanda di paspornya. Lalu, saya kapan?

Bagi saya, Belanda bukan sekadar negara bekas penjajah. Sekarang trennya juga tidak se-hype Korea. Tapi saya merindukan rumah saya dulu. Rumah yang tak pernah saya ingat. Siapakah penghuninya kini?

 Seperti ada nyawa yang hilang, yang terlupakan.

Apakah ari-ari saya sudah berbaur dengan tanah berpasir yang turut menyuburkan warna warni tulip di sana? Apakah ari-ari saya hanyut di air yang memenuhi kanal-kanal di tanah datar Belanda. Kanal yang tak pernah meluap walau hujan deras sepanjang hari itu? Apakah ari-ari saya menjadi santapan anjing yang berkeliaran di sepanjang jalur sepeda, menyalak para pengendara sepeda yang berkendara dengan aman tentram tanpa khawatir disenggol motor? Ataukah ari-ari saya telah bergabung dengan debu melayang bersama angin melintasi museum yang konon memajang emas sebesar meja makan yang berasal dari Indonesia ?

Mungkin saya terlalu memikirkannya. Namun, bagaimana pun di sanalah tanah kelahiran saya. Tempat di mana sebuah takdir akan sangat berbeda jika mama saya tidak memutuskan mudik.

Saya masih menyimpan satu mimpi di antara banyak mimpi lain. Untuk bisa menapak tilas di sana. Sekadar merasakan udara yang sama dengan ari-ari saya.

 Akan lebih baik lagi jika kami empat bersaudara turut serta. Membuat jejak kenangan baru. Selfie beramai-ramai dengan hastag past & present. Lalu sekejap kemudian merindukan tanah air.

Tulisan ini ikutan giveaway 'MyDreamyVacation'

6 komentar:

  1. waaah...si ari-ari luamyan jauuuh yaaa....ayo mba...disambangi :D...makasih sudah ikutan GA aku yaaah...well-noted

    BalasHapus
  2. waaah, jadi penasaran sama foto past & presentnya, mba :D semoga tercapai yaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amiiiin ... *kenceng bgt ini doanya =) tks sudah mampir

      Hapus
  3. aku doain segera bertemu si ari-ari yah ;)
    makasih atas partisipasinya dalam GA nin :)

    BalasHapus