(tulisan ini dibuat pada Agustus 2010. Masih kerja. Anak baru satu. Dan masih tinggal sama ortu. Lucu juga sbg pengingat ketika tanduk mulai kebanyakan tumbuh ketemu bocah-bocah tengil)
Postingan ini dibuat untuk menjawab postingan Roosie. Well, sebenarnya ga tepat juga disebut menjawab, melainkan hendak menunjukkan sisi lain untuk tema yang sama.
Aku adalah bungsu dari empat bersaudara. Walau lahir di negeri kompeni sana, tetapi fakta menunjukkan bahwa masa pertumbuhanku (dan hingga sekarang) adalah di Indonesia. Iya, Indonesia, tempat orang-orang bekerja untuk sesuap nasi, bukan untuk tujuan wisata liburan tahunan selanjutnya bersama keluarga. Kondisi ini menempatkanku pada status anak dari dua orangtua yang bekerja. Kala itu, tidak banyak orangtua yang bekerja dua-duanya. Setidaknya untuk angkatanku.
Sehingga aku selalu iri ketika main ke rumah teman selalu ada mamanya di rumah dan siap menyiapkan lauk tambahan untuk teman anaknya. Sedangkan aku, lauk sudah ada jatahnya masing-masing karena mama sudah masak jauh-jauh hari dan kalau ada teman mau makan di rumah cukup dikasih telor mata sapi (kebayang donk, aku makan ayam sedangkan temanku hanya makan telor).
Mama selalu menekankan untuk telepon ke rumah kalau mau pergi ke mana saja. Bahkan ketika handphone sudah bertebaran di mana-mana mama hanya ingin si anak yang menginfokan ke orangtua, bukan orangtua yang tanya-tanya. Kalau papaku sebaliknya. Dia masih mau mencari aku kalau aku pulang terlambat--waktu SD. Ketika sudah dewasa, papa biasanya tetap terjaga hingga aku tiba di rumah (walau dia tidak bilang, aku tahu dia sedang menungguku).
Sebagai anak dari kedua orangtua bekerja, aku tidak hanya menemukan bahwa aku jadi lebih mandiri, tetapi juga fakta aku sering diledek 'anak mba' sama guru-guru karena si mba yang akan datang kalau aku sakit di sekolah, juga fakta lain... tidak ada orang dewasa yang dapat melindungi aku di rumah. Harus sendirian berhadapan dengan om-om mesum di sekolah atau di rumah dengan kepolosan anak kecil dan buntutnya masih berjuang mengatasi trauma yang sering muncul terlebih setelah menikah (dan Hery jadi sering korban KDRT karenanya). Aku pun jadi parnoan.
Aku merindukan sosok ibu rumah tangga yang tetap bisa cari uang di rumah tetapi juga membuat kue paling lezat bagi anak-anaknya. Orang dewasa pelindungku.
Setelah menjadi orangtua di kota Jakarta yang kejam ini, praktis aku tetap harus bekerja dan meninggalkan Malika 12 jam setiap harinya. Keadaan ini senantiasa dibanding-bandingkan sama mama dulu. Ya iyalah, beliau bisa kerja dari jam 6 malam dan pulang jam 12 malam dengan gaji lebih tinggi. Itu di Belanda. Lha kalau di sini yang bisa begitu cuma pegawai klub malam.
Selama 12 jam itu, Malika akan bersama ayahnya hingga pukul 2 siang--karena Hery jadi asisten redaktur jadi ga perlu keluar pagi2. Pasca jam 2 akan diserahterimakan ke mama hingga aku tiba di rumah sekitar pukul 7 malam. Dan Malika tidur jam 9 malam.
Jadi kalau dihitung-hitung, waktuku bersama Malika tidak sebanyak ayahnya. Dan itu membuatku iri. Walau aku setiap hari telepon untuk menanyakan kondisi Malika (dan dikeluhkan sama mama), tetapi itu tidak sebanding dengan menyaksikan setiap hal baru yang dilakukan Malika. Padahal sekaranglah masa-masanya. Masa-masa menakjubkan melihat seorang bayi berjuang untuk bisa tengkurap lalu merangkak. Bayi yang begitu antusias untuk menikmati kehidupan.
Aku merasa berbuat begitu banyak karena dasar cinta. Tetap bekerja karena ingin Malika mendapat kehidupan yang lebih baik. Bangun tengah malam untuk perah susu hingga aku jadi kurang tidur. Tidak bisa ke mana-mana ketika weekend karena Malika belum bisa dibawa nonton bioskop dan tidak mau juga meninggalkan Malika di rumah saat weekend karena aku tidak bisa membelikan Malika waktu. Sedangkan Hery, tidak kekurangan jam tidur, jam kerja lebih sedikit, tetapi punya banyak waktu dengan Malika. Bahkan besok dia masih bisa nonton konser Ian Brown dan Kula Shaker.
Aku memang berusaha tetap ada karena aku iri. Walau itu berarti tidak pergi ke mana-mana tanpa Malika.
Betapa aku ingin mengamalkan sharing dari Gobind Vashdev, penuhi tangki cinta Anda. Karena aku tidak ingin mencintai Malika tetapi ingin Malika merasa dicintai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar